Welcome to D.U.T.Y

1. BACKGROUND / LATAR BELAKANG
Kenapa berjudul D.U.T.Y.? Berdasarkan arti dalam bahasa Inggris, Duty berarti tugas/misi/kewajiban. Saya sebagai Author dari Blog D.U.T.Y ini, merasakan sudah menjadi kewajiban/tugas kita sesama anak-anak Tuhan untuk saling menguatkan dan menolong satu sama lain. Apakah cuma itu? Tunggu dulu, selain arti kata Duty dalam bahasa inggris yang telah disebutkan di atas, D.U.T.Y. sendiri disini juga adalah sebuah singkatan, yaitu : Dariku Untuk Tuhan Yesus / D.U.T.Y

Kita sebagai manusia pasti lebih sering membuat Tuhan Allah kita merasa sedih dengan dosa-dosa yang telah kita perbuat. Baik itu dosa yang disengaja/tidak disengaja, dosa yang kita ketahui/tidak kita ketahui. Bahkan mungkin terkadang kita merasa tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada Tuhan Yesus, padahal di dalam hati kita ingin membuat Tuhan senang. Tetapi Puji Tuhan, kita bisa memberikan sesuatu kepada Tuhan sekaligus membantu saudara-saudara kita yang lain. Salah satu caranya adalah memberikan kesaksian/pengalaman hidup kita untuk diceritakan kepada orang lain. Saya rindu sekali agar setiap orang yang nantinya membaca setiap kesaksian di dalam buku ini akan lebih mencintai Tuhan dan menyadari sepenuhnya bahwa Ia hadir di setiap langkah kehidupan mereka.

2. VIEW / SEKILAS
Seperti apakah kira-kira blog ini nantinya? Secar garis besar, blog ini adalah seperti buku Chicken Soup. Mengapa?
Karena buku Chicken Soup memuat pengalaman/kisah nyata dari orang-orang yang mempunyai tujuan memotivasi orang lain, memperkaya jiwa, sekaligus menguatkan. Selain itu, agar lebih bisa menjangkau kalangan umum Kristiani, sebagian besar isi blog ini tentu saja adalah kisah-kisah kesaksian nyata (karena umumnya, kesaksian-kesaksian berharga dari saudara-saudara kita, akhirnya hanya terpendam dalam suatu lingkup tertentu saja). Blog ini juga tidak akan secara khusus menelaah ayat-ayat dalam Alkitab. Ayat-ayat Alkitab hanya akan digunakan sebagai pendukung dari setiap tema kesaksian. Oleh karena itu, Saya dari Author dari blog D.U.T.Y. ini berpikir, kenapa sharing-sharing tersebut tidaklah dibuat dalam sebuah wadah yang bisa diberikan untuk orang lain serta diketahui secara luas? Alangkah indahnya bila sharing-sharing/kesaksian itu dapat berguna bagi kehidupan orang lain, khususnya bagi mereka yang belum peka akan jamahan Tuhan dalam kehidupannya. Selain itu, sharing merupakan salah satu bentuk media yang bisa membangun rasa kebersamaan kita.

3. WHO? / SIAPA SAJA ?
Siapakah yang bisa berpartisipasi dalam buku ini? Jawabannya sangatlah mudah yaitu : siapa saja. Kami mengundang Saudara sekalian yang terkasih dalam Yesus Kristus untuk berpartisipasi dengan menceritakan pengalaman/kesaksian Saudara kepada kami. Apapun pekerjaan Saudara, berapapun usia Saudara, berapapun penghasilan Saudara atau apapun kedudukan Saudara, apakah Saudara beragama Kristen Katolik maupun Kristen lainnya, atau apakah tempat tinggal Saudara dekat/jauh. Yang paling penting disini adalah niat untuk memberikan sesuatu untuk menyenangkan Tuhan yang (mudah-mudahan) dapat membantu Saudara-Saudara seiman lainnya. Atau misalnya Saudara memiliki ayah/ibu/orang-orang lain yang ingin ikut berpartisipasi, kami dengan senang hati akan menerimanya.

Mungkin Saudara juga ingin melakukan pelayanan dalam kehidupan iman saudara, namun sampai sekarang belum sempat melakukan pelayanan di gereja/sesama atau mungkin Saudara bingung mau memberikan pelayanan seperti apa? Puji Tuhan, Saudara sekarang bisa memberikan pelayanan kepada Tuhan dan sesama dengan menceritakan pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan kehidupan iman Saudara kepada kami melalui email yang telah saya buatkan yaitu :

todays_duty@yahoo.co.id

Email diatas juga bisa digunakan untuk memberikan input, bimbingan, atau masukan sehingga tentu bisa membangun kualitas blog yang akan dihasilkan ini. So, any input will grow all of us together… jangan lupa masukkan “INPUT” sebagai subjek email Saudara..


Pertanyaan yang paling sering diajukan adalah : "Saya ingin ikut memberikan pengalaman hidup saya, tetapi saya tidak bisa/kurang bisa menulis, bagaimana ini?" Tenanglah, Saudara tidak perlu ragu/takut. Kami yakin kekurangan Anda akan dibantu oleh Kuasa Roh Kudus pada saat Saudara berusaha menceritakan pengalaman Saudara. Yang paling penting adalah hati Saudara yang dipenuhi dengan niat serta kerinduan untuk membagi sentuhan keajaiban Tuhan kepada sesamanya. Kami yakin, Tuhan Yesus tidak akan meninggalkan siapapun yang ingin mempersembahkan sesuatu dengan sepenuh hati padaNya. Jadi, jangan ragu. Kirimkan saja tulisan Saudara. Saya akan berusaha membantu Saudara dalam hal pengeditan cerita Saudara.

Salam Damai Sejahtera, Tuhan memberkati.
AUTHOR OF D.U.T.Y

09 January 2008

Tips: Komunikasi Interpersonal

Untuk menumbuhkan dan meningkatkan hubungan interpersonal, kita perlu meningkatkan kualitas komunikasi. Beberapa faktor yang mempengaruhi komunikasi interpersonal adalah:

1 Percaya/trust. Bila seseorang punya perasaan bahwa dirinya tidak akan dirugikan, tidak akan dikhianati, maka orang itu pasti akan lebih mudah membuka dirinya. Percaya pada orang lain akan tumbuh bila ada faktor-faktor sebagai berikut:
a Karakteristik dan maksud orang lain, artinya orang tersebut memiliki kemampuan, ketrampilan, pengalaman dalam bidang tertentu. orang itu memiliki sifat-sifat bisa diduga, diandalkan, jujur dan konsisten.
b Hubungan kekuasaan, artinya apabila seseorang mempunyai kekuasaan terhadap orang lain, maka orang itu patuh dan tunduk.
c Kualitas komunikasi dan sifatnya menggambarkan adanya keterbukaan. Bila maksud dan tujuan sudah jelas, harapan sudah dinyatakan, maka sikap percaya akan tumbuh.


2 Prilaku suportif akan meningkatkan komunikasi. Beberapa ciri prilaku suportif yaitu:
a Deskripsi: penyampaian pesan, perasaan dan persepsi tanpa menilai atau mengecam kelemahan dan kekurangannya.
b Orientasi masalah: mengkomunikasikan keinginan untuk kerja sama, mencari pemecahan masalah. Mengajak orang lain bersama- sama menetapkan tujuan dan menentukan cara mencapai tujuan.
c Spontanitas: sikap jujur dan dianggap tidak menyelimuti motif yang terpendam.
d Empati: menganggap orang lain sebagai persona.
e Persamaan: tidak mempertegas perbedaan, komunikasi tidak melihat perbedaan walaupun status berbeda, penghargaan dan rasa hormat terhadap perbedaan-perbedaan pandangan dan keyakinan.
f Profesionalisme: kesediaan untuk meninjau kembali pendapat sendiri.


3 Sikap terbuka, kemampuan menilai secara objektif, kemampuan membedakan dengan mudah, kemampuan melihat nuansa, orientasi ke isi, pencarian informasi dari berbagai sumber, kesediaan mengubah keyakinannya, profesional dan lain sebagainya.
Agar komunikasi interpersonal yang dilakukan menghasilkan hubungan interpersonal yang efektif dan kerja sama bisa ditingkatkan, kita perlu bersikap terbuka dan menggantikan sikap dogmatis. Kita perlu juga memiliki sikap percaya, sikap mendukung, dan terbuka yang mendorong timbulnya sikap saling memahami, menghargai dan saling mengembangkan kualitas. Hubungan interpersonal perlu ditumbuhkan dan ditingkatkan dengan memperbaiki hubungan dan kerjasama antara berbagai pihak, tidak terkecuali dalam lembaga pendidikan.

Mintalah Maaf Bila Anda Bersalah

"Ya Allah, kemuliaan-Mu kekal selamanya, membuat dunia penuh damai sejahtera."


While Shepherds Watched Their Flocks by Night.

Salah satu kata yang berhubungan paling dekat dengan masa Natal adalah damai.

Damai di bumi
Damai di antara manusia
Damai di antara saudara
Damai di hati kita

Namun, damai yang sejati hanya datang sebagai hasil dari pengampunan.

Jadikan Adven sebagai saat untuk minta maaf bila Anda bersalah pada seseorang selama tahun yang telah lewat. Jangan datang ke palungan Natal dengan membawa beban rasa bersalah, kebencian, dendam, atau kegetiran.




Usahakan Berbaik Kembali

Datangi orang yang Anda sakiti. Nyatakan penyesalan yang tulus. Usahakan untuk berbaik kembali. Mintalah maaf kepada mereka. Apakah Anda merasa Andalah yang disakiti? Pergilah pada orang tersebut, dan tetaplah minta maaf kepadanya. Mungkin sebagai balasannya, mereka akan meminta maaf kepada Anda.

Apakah Anda menyakiti atau disakiti seseorang yang sudah meninggal atau sudah tidak bisa dihubungi lagi? Serahkan mereka pada kasih Allah.




Lepaskan Luka Hati Anda

Lepaskan luka hati Anda jika Anda menganggap Adven sebagai saat untuk melepaskan kenangan, dosa, dan penyesalan yang menyakitkan. Anda bisa melakukannya dengan membeli sebatang lilin hitam pada masa awal Adven dan meletakkannya di tempat lilin kristal kecil.

Setiap malam, saat berdoa, nyalakan lilin tersebut sambil meminta kepada Tuhan untuk mengingatkan pada hal-hal yang membuat Anda perlu bertobat. Minta juga kepada Tuhan agar menyembuhkan perasaan Anda yang terluka dan membebaskan Anda dari kebencian yang disimpan di dalam hati. Lepaskan itu semua bersama asap lilin. Jangan mengingatnya atau memikirkannya setelah malam tersebut.

Natal akan jauh lebih cemerlang jika Anda tidak melihat luka hati Anda melalui kaca jendela yang penuh dengan dosa.

Menghargai dan Menerima

Dalam kamus Webster's New World Dictionary, salah satu definisi yang diberikan untuk kata respect adalah, "merasakan atau memperlihatkan hormat atau penghargaan." Sedangkan istilah accept didefinisikan sebagai, "menerima, terutama dengan sukarela." Pada akhir tahun ini, Santy dan saya akan merayakan ulang tahun pernikahan kami yang kesepuluh dan secara mental saya sedang membuka kembali lembaran- lembaran hidup bersama kami. Pikiran saya pun menerawang pulang ke hari pernikahan itu, dimana kami berdua berdiri di muka mezbah kudus Tuhan mengikrarkan janji setia untuk mengasihi sampai "kematian memisahkan kami". Walaupun kami sudah berpacaran selama tiga tahun dan merasa siap memasuki mahligai pernikahan, namun sesungguhnya persiapan kami jauh dari "siap". Pada waktu saya membaca ulang apa yang tertulis pada lembaran-lembaran kehidupan bersama kami, dua kata menyelinap masuk ke dalam benak saya, yakni kata respect dan accept. Pada kesempatan ini izinkanlah saya membagikan kepada para pembaca sekalian apa yang saya telah dan sedang pelajari dari kedua kata itu.

Pengenalan yang mendalam akan diri pasangan kita memang menolong memperkuat ikatan pernikahan, namun sekali-kali tidak menjamin keutuhan pernikahan dalam menghadapi perubahan-perubahan dan tekanan- tekanan hidup. Dahulu kala saya memiliki suatu keyakinan - atau lebih tepat lagi, suatu harapan - bahwa yang terpenting dalam pernikahan adalah menikahi seseeorang yang dikehendaki oleh Tuhan. Berlandaskan keyakinan itu saya berharap bahwa penyesuaian hidup berdua akan berjalan relatif mulus. Ternyata saya keliru (sekurang- kurangnya dalam kenyataan hidup pernikahan kami). Kenyataan bahwa Tuhan telah mempersatukan kami tidaklah sekali-kali berarti bahwa kehidupan pernikahan kami akan harmonis. Setiap hari kami dihadapkan dengan situasi-situasi yang menguji keharmonisan pernikahan kami! Setiap saat merupakan arena untuk kami belajar menyesuaikan "kehendakku" dengan "kehendakmu". Ternyata respect dan accept menjadi penting dalam proses mengharmoniskan pernikahan seseorang.

Pada waktu kita terbuai dalam amukan gelombang asmara, mudah bagi kita untuk melihat hal-hal yang menawan serta baik dalam diri pasangan kita. Untuk hal-hal yang menawan dan baik itulah kita memberikan rasa hormat kepadanya. Rasa hormat ini timbul secara alami karena kita memang merasakannya. Kita dapat mengatakan bahwa kita menghormatinya karena, "dia sensitif", atau "dia seorang yang jujur", dan seterusnya. Setelah menikahpun, kita masih dapat mengungkapkan penghargaan terhadap hal-hal yang baik yang kita lihat pada dirinya. Cinta memang mudah tumbuh dengan subur di atas tanah yang penuh dengan hal-hal yang menimbulkan rasa hormat.

Namun demikian, tanah tempat kita berpijak dan melangkah tidak selalu gembur dan menggemukkan tanaman. Adakalanya tanah itu berkerikil dan kering kerontang. Kita mendapatkan hal-hal yang tidak kita sukai dalam dirinya dan hal-hal ini membuat kita mengalami kesulitan dalam merasakan, apalagi memperlihatkan penghargaan kita kepadanya. Di sini saya tidak sedang membicarakan hal-hal atau perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan dosa. Yang saya maksudkan adalah perbedaan-perbedaan yang menyangkut cara berpikir dan kebiasaan hidup. Bukankah salah satu sumber pertengkaran kita adalah perbedaan berpikir dan kebiasaan hidup? Bukankah sering kali pertengkaran timbul karena kita merasa "tidak dimengerti"? Nah, hal- hal inilah yang sedang saya bicarakan yakni perbedaan-perbedaan yang berkaitan dengan cara berpikir dan kebiasaan hidup, yang akhirnya mencetuskan pertengkaran dan membuat kita sukar menghormati pasangan kita lagi.

Pada saat-saat seperti ini, kita ditantang untuk menerimanya, lengkap dengan segala "kelemahannya" (perbedaan-perbedaan itu). Saya menyukai definisi Webster's New World Dictionary yang melekatkan kata-kata "terutama dengan sukarela" pada kata menerima. Menerima dengan terpaksa bisa menyebabkan timbulnya kepahitan hidup, kebencian, rasa tertindas, dan kemuakan. Sebaliknya, menerima dengan sukarela menciptakan suasana kelegaan, kemerdekaan, dan kemandirian. Suasana seperti ini hanya dapat muncul apabila kita bersikap bahwa memang sebenarnya kita dipaksa untuk menerima, namun pada akhirnya kita harus dapat memilih menerimanya dengan seutuhnya.

Saya teringat akan situasi di jemaat Korintus di mana terjadi pelbagai perpecahan dan salah satu sumbernya adalah perbedaan pendapat. Dalam 1 Kor. 8, Rasul Paulus membahas mengenai makan yang telah dipersembahkan kepada berhala. Sebagian jemaat berkeyakinan bahwa mereka tidak boleh memakan makanan tersebut, namun sebagian lagi berpandangan sebaliknya. Perhatikanlah nasehat saleh dari Rasul Paulus pada ayat 1, "Tentang daging persembahan berhala, kita tahu: 'kita semua mempunyai pengetahuan.' Pengetahuan yang demikian membuat orang menjadi sombong, tetapi kasih membangun." Rasul Paulus menerangkan bahwa memang pada dasarnya memakan makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala tidaklah salah (ayat 4 hingga 6). Namun ia menekankan bahwa yang terpenting bukanlah hal memiliki pengetahuan ini. Dengan kata lain, bukan "apa"-nya, yang terpenting, melainkan hal menerapkan pengetahuan ini. Dengan kata lain, bukan "apa"-nya, yakni apakah kasih menjadi dasar, perantara, dan tujuan penyampaian pengetahuan ini. Tatkala saya merenungkan kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam pernikahan kami, saya menyadari bahwa acap kali saya cenderung menekankan "apa"-nya, yakni saya merasa sayalah yang benar atau sayalah yang memiliki pengetahuan yang benar. Ini bukan saja tidak menyelesaikan masalah, malah makin membakar suasana. Saya berkeyakinan bahwa kasih hanya dapat tumbuh apabila kita sudah menerima pasangan kita seadanya - dengan sukarela. Pertengkaran timbul karena masing-masing merasa benar atau memiliki pengetahuan yang paling tepat, sama seperti yang terjadi pada jemaat Korintus. Ini dapat dan akan terus berlangsung selama kita hidup bersama dengan orang lain. Pada kesempatan ini saya ingin mengajak para pembaca sekalian untuk mencoba cara yang dipaparkan Firman Tuhan. Cobalah untuk "menerima, terutama dengan sukarela" barulah kasih akan timbul. Jangan terlalu menekankan pengetahuan yang dapat membuat kita sombong alias enggan untuk merendahkan diri. Setelah melakukan petunjuk surgawi ini, mungkin kita akan sedikit terkejut menyaksikan bahwa tanpa terasa, kita semakin dapat menghargai pandangan-pandangan pasangan kita, alias kita mulai "merasakan atau memperlihatkan hormat" kepadanya. Cobalah dan saksikan hasilnya.



PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

Kiat Membesarkan Anak

Membesarkan anak bukanlah masalah sepele. Saya percaya bahwa para pembaca yang adalah orangtua (terutama ibu) akan membenarkan kalimat ini. Sebagaimana hubungan suami-istri akan mempengaruhi hubungan suami-istri yang sehat dan kuat cenderung menghasilkan anak-anak yang sehat dan kuat pula. Namun kebalikannya juga betul. Hubungan suami istri yang sehat dan kuat cenderung menghasilkan anak-anak yang sehat dan kuat pula. Hubungan suami-istri yang lemah dan sakit- sakitan, cenderung menghasilkan (atau merupakan tanda) hubungan suami-istri yang lemah dan sakit-sakitan. Dr. James Dobson, seorang psikolog Kristen dari Amerika, sangat menyadari peranan yang penting dari cara membesarkan anak yang sehat dalam keharmonisan hubungan suami istri. Dalam bukunya The New Dare to Dicipline yang kemudian diintisarikan dalam majalah Focus on the Family (March,1994) ia menjabarkan lima kiat membesarkan anak.

Pertama adalah menumbuhkan respek pada orangtua merupakan faktor yang sangat penting dalam membesarkan anak. Ada tiga alasan yang membuat hal ini penting, antara lain: 1) Karena sesungguhnya anak belajar memberi respek kepada orang lain sewaktu ia belajar memberi respek kepada orangtuanya. Keluarga adalah unit sosial terkecil dan sering kali cara kita berinteraksi dan bereaksi terhadap dunia luar merupakan cermin dari bagaimana kita berinteraksi dan bereaksi terhadap keluarga kita. Seorang anak yang tidak menghormati orangtuanya cenderung mengalami kesukaran menghormati figur-figur lain di luar rumahnya. Saya memahami adanya kasus-kasus tertentu di mana orang tua bukan hanya menelantarkan melainkan juga menindas anak mereka. Dalam kasus-kasus khusus seperti itu saya menyadari kesukaran yang timbul bagi anak untuk menghormati orangtuanya. Namun saya percaya bahwa yang dimaksud oleh Dr. Dobson adalah kasus pada umumnya, dimana anak yang tidak dididik untuk hormat kepada orangtua cenderung menjadi anak yang sukar hormat kepada orang lain. 2) Karena respek pada orangtua akan menolong orangtua menanamkan nilai-nilai rohani dalam diri anak tatkala anak mencapai usia remaja. Apabila kita baru mau menanamkan pentingnya respek sewaktu anak menginjak remaja, niscaya kita telah terlambat dan akan mengalami kesulitan mengajarkan nilai-nilai rohani dalam dirinya. 3). Karena respek pada orang tua acap kali dikaitkan dengan respek pada Tuhan sendiri. Anak kecil yag belum berkemampuan berpikir secara abstrak sering kali mengasosiasikan figur orang tua, terutama ayah, dengan figur Tuhan. Jadi, anak yang kurang ajar terhadap orang tua sejak kecil akan cenderung tidak respek terhadap Tuhan pula.

Kiat kedua dalam membesarkan anak ialah, kesempatan terbaik untuk berdialog dengan anak adalah pada waktu kita baru saja mendisiplinkannya. Membesarkan anak tidak terlepas dari konfrontasi dan disiplin karena adakalanya anak dengan sengaja melawan otoritas orang tua. Pada saat-saat seperti inilah penting bagi orang tua untuk mematahkan pemberontakan anak karena pada saat seperti ini, rasa respeknya pada orang tua akan bertumbuh. Biasanya dalam saat konfrontasi dan disiplin seperti ini, anak akan meluap-luap dengan emosi dan setelah itu mengakhiri perlawanannya dengan tangisan. Ini adalah momen yang penting bagi kita, orang tua untuk memeluk anak, mengatakan kepadanya bahwa kita mengasihinya dan memberi tahu anak akan kesalahannya. Dengan cara ini, anak akan memahami bahwa kita tidak menolaknya atau menghukum dirinya, melainkan menghukum perbuatannya. Jadi orang tua tidak seharusnya takut mendisiplin anak selama tidak berlebihan karena momen-momen seperti ini biasanya dapat mempererat hubungan orangtua- anak.

Kiat ketiga ialah, kendalikan anak tanpa bertaerik-teriak. Menurut Dr.Dobson, berteriak-teriak memarahi anak tidak menyelesaikan masalah, malah akan membuat anak terbiasa dengan kemarahan orangtua. Menggunakan teriakan kemarahan untuk mengendalikan anak sama dengan mencoba menjalankan mobil dengan cara membunyikan klakson. Oleh karena itu cara yang lebih efektif adalah memanfaatkan sesuatu yang penting baginya. Saya setuju dengan pandangan Dr. Dobson ini karena saya pun menyaksikan betapa cepatnya anak-anak kami makan tatkala istri saya berkata, "Kalau tidak selesai makan, kalian tidak boleh ikut pergi." Bagaikan pelari yang mendekati garis final, demikian pula mereka berlari menuju meja makan dan makan dengan lahap - tanpa kami harus berteriak-teriak marah.

Kiat keempat dalam membesarkan anak adalah, jangan limpahkan anak dengan materi. Pada waktu kita hidup dalam kekurangan, tidaklah sukar bagi kita untuk menolak permintaan anak dengan alasan, kita tidak memiliki uang untuk membeli barang yang ia minta itu. Namun tatkala kita mempunyai uang, menolak permintaan anak menjadi cukup sulit. Kita seakan-akan tidak lagi memiliki alasan untuk menolak permintaannya. Setiap kali kami sekeluarga mengunjungi pasar swalayan, anak-anak selalu mengajak kami (sudah tentu dengan rayuan) untuk melihat-lihat di tempat penjualan mainan anak-anak dan setiap kali pula mereka meminta kami untuk membelikan sesuatu. Biasanya saya menolak permintaan mereka dengan alasan harganya, bagi kami terlalu tinggi. Dasar anak-anak, sekarang mereka mengubah taktik mereka. Setelah mangumandangkan permintaan mereka, pertanyaan pertama yang mereka ajukan adalah, apakah harganya mahal atau tidak. Masalah mulai timbul (bagi kami), karena adakalanya barang yang mereka inginkan harganya memang tidak terlalu tinggi. Sedangkan alasan utama kenapa kami tidak bersedia membelikan barang itu adalah karena kami ingin membatasi barang mainan mereka agar tidak melimpah- ruah dan hilang nilainya. Akhirnya saya terpaksa mengatakan bahwa kami tidak dapat membelikan mainan itu karena mereka sudah memiliki mainan sejenis itu atau kami menjanjikan untuk membelikan mainan itu pada hari ulang tahun mereka.

Dr.Dobson menekankan bahwa anak yang dilimpahi dengan materi niscaya mengalami kesukaran menghargai milik kepunyaannya. Saya menambahkan, anak yang tidak pernah menghargai milik kepunyaannya cenderung berkembang menjadi seseorang yang tidak berterima kasih dan mementingkan diri sendiri. Anak ini cenderung menjadi seseorang yang egois dan mementingkan haknya belaka, tanpa memikirkan kewajibannya dan kepentingan orang lain. Ia tidak mungkin menghargai pengorbanan orang lain dan tidak mengenal nilai pengorbanan diri. Segala sesuatu menjadi terlalu mudah baginya dan ia pun akhirnya cenderung memudahkan atau meremehkan segala sesuatu. Ingatlah, membatasi kepunyaan mereka tidaklah sama dengan menyengsarakan mereka. Membatasi keinginan anak penting untuk kita lakukan pada abad kemakmuran materi ini demi kebaikannya sendiri.

Terakhir, Dr. Dobson menjelaskan kiat membesarkan anak adalah menjaga keseimbangan antara kasih dan disiplin. Ia menuturkan sebuah cerita yang pernah terjadi pada abad ke-13 di mana Raja Frederick II mengadakan sebuah percobaan dengan 50 bayi. Tujuan eksperimen ini ialah untuk mengetahui bahasa apa yang akan digunakan oleh anak-anak ini apabila mereka dibesarkan tanpa pernah mendengar perkataan apapun. Raja tersebut meminta ibu pengasuh ini untuk membersihkan dan memberi mereka makan namun melarang para pengasuh ini untuk membelai ataupun berbicara kepada bayi-bayi ini. Percobaan ini ternyata gagal total karena akhirnya kelima puluh bayi ini akhirnya meninggal dunia.

Seorang anak membutuhkan kasih sayang dan penerimaan orangtuanya sama seperti ia memerlukan makanan dan minuman. Tanpa kasih sayang dan penerimaan, ia harus bertumbuh besar menjadi seorang manusia yang haus dan lapar akan kasih serta penerimaan orang lain. Namun ia pun memerlukan disiplin yang akan menolongnya menguasai diri dan patuh kepada otoritas di atasnya. Disiplin membantunya hidup dalam kerangka atau struktur sehingga ia tidak berkembang menjadi liar tak terkendali bahkan oleh dirinya sendiri. Disiplin diperlukan sebagai saran orangtua mengkomunikasikan pelajaran-pelajaran bermakna yang ia perlukan.

Dr. Dobson menyimpulkan, "Tatkala anak menantang dan memberontak, menangkanlah tantangan itu dengan meyakinkan. Ketika anak bertanya, 'Siapakah yang berkuasa (di rumah ini) ?'- beri tahu dia (bahwa Andalah, sebagai orangtua yang berkuasa di rumah ini). Saat ia bergumam, 'Siapakah yang mengasihi saya ?'- dekaplah ia dalam pelukan Anda dan penuhi dia dengan kasih sayang. Perlakukan dia dengan respek dan penuh penghargaan dan tuntutlah perlakuan yang sama darinya.

Ketertutupan Eksistensial

Ketertutupan merupakan hal yang menghambat komunikasi dan hubungan antar manusia. Sulit dibayangkan seseorang menikah dengan pasangan dengan jiwa yang tertutup. Mungkin segala ideal pernikahan tak dapat dicapai. Keinginan, pemikiran, perasaan, dan segala yang perlu dikomunikasikan berakhir dengan diri sendiri. Tidak heran jikalau ekses-ekses yang tak diharapkan akan muncul. Perasaan kecewa, jengkel, marah, frustasi, dan tidak sabaran, yang kemudian memicu keinginan untuk menjauh dan menghirup kesegaran di luar, tak dapat dihindari lagi.

Anehnya, ketertutupan tidak selalu memanifestasikan diri dalam sikap diam, acuh, pasif, dan sulit berkomunikasi. Banyak pribadi yang tertutup tetapi berpenampilan ramah dan suka ngobrol, hanya...tak pernah mengkomunikasikan dirinya sendiri (the real self). Sehingga perkenalan, pergaulan, bahkan pernikahan selama bertahun-tahun tetap tidak menghasilkan keakraban. Apa yang ada dalam hati, dan apa yang tersimpan di balik sikap, kata-kata, dan tingkah lakunya merupakan misteri yang sulit dipahami. Kalau benar demikian, maka ini adalah gejala ketertutupan yang seringkali disebut sebagai ketertutupan eksistensial. Yaitu ketertutupan dari pribadi yang sebenarnya takut menghadapi realita kehidupan yang sesungguhnya (the real world). Untuk lebih meng-clear-kan pokok pembicaraan ini, coba perhatikan kasus di bawah ini.

L pada suatu hari datang ke seorang konselor dengan keluhan "tak dapat tidur (insomnia)." Katanya sudah berobat ke dokter dan diberi obat tidur. Memang tertolong, karena L kemudian dapat tidur. Tetapi setelah itu pemakaian obat tersebut menjadi masalah. L takut terjebak dalam ketergantungan pada obat. Itulah sebabnya ia konseling. Dari percakapan dengan konselor, akhirnya sampailah juga pada cerita kekecewaan dan perasaan dikhianati yang L alami dengan suaminya. Herannya, perasaan dikhianati tersebut muncul hanya oleh karena sang suami mulai main tenis seminggu dua kali. Dari jawaban dan penjelasan L, barulah nyata bahwa sejak menikah L menciptakan sistim kehidupan yang khusus dan unik. Selama dua tahun sang suami menurut-nurut saja, karena ia seorang yang baik hati dan tak suka ribut. Seolah-olah ia tidak pernah mempermasalahkan ketetapan dari L, yaitu ke mana- mana mesti bersama. Baik ke gereja, ke toko, ke luar kota, bahkan berolah-ragapun selalu harus bersama-sama. Nah, di sinilah persoalannya, karena pada suatu hari sang suami bertemu teman- teman lamanya yang mengajak ikut main tenis seminggu dua kali. Memang ide ini sudah diutarakan kepada L, tetapi L tak mau main tenis dan..., sesuai dengan sistim yang selama ini sudah berlaku, kalau L tidak pergi suami juga tidak boleh pergi. Biasanya sang suami nurut- nurut saja. Kali ini tidak. Dan itu menjadi bencana karena dianggap sebagai pengkhianatan.

Apa betul pengkhianatan? Menurut L jawabnya "ya," (tetapi "tidak" bagi suami L). Karena L adalah tipe pribadi dengan ketertutupan eksistensial, yaitu ketertutupan dalam eksistensinya sebagai satu individu dalam hubungan dengan individu yang lain. L menciptakan dunianya sendiri dan setiap orang yang dekat dengannya harus masuk menjadi bagian dari dunia ciptaannya. Orang tersebut harus berperan dengan peran yang ditetapkan L sesuai dengan dunia ciptaan tersebut. Ia tidak boleh mempunyai kebebasannya sendiri, atau memainkan peran yang lain yang tidak sesuai dengan peran yang sudah ditetapkan oleh L. Tidak heran jikalau hal "berani mengambil keputusan untuk bermain tenis sendiri (tanpa L)" dirasakan sebagai suatu pengkhianatan.

Ketertutupan eksistensial sebenarnya merupakan gejala umum yang sering ditemukan dalam kehidupan suami-istri. Banyak individu yang diam-diam merasa terjebak, tertekan, kehilangan kebebasan dan jiwanya terpenjara setelah menikah dengan pribadi dengan ketertutupan eksistensial. Memang ia dilayani, dan "dicintai" tetapi heran pelayanan dan cinta kasih yang diberikan, lama kelamaan tidak dapat dinikmati. Oleh sebab itu, keinginan untuk membebaskan diri seringkali tak dapat dibendung lagi.

Sekarang, bagaimana kita dapat menolong individu dengan ketertutupan eksistensial? Sulit, karena umumnya individu seperti ini tidak pernah merasa bersalah. Ia merasa bahwa ia sudah memberikan segala- galanya untuk suami/istri dan keluarganya. Ia yakin bahwa apa yang dilakukannya (dengan mengatur detail tingkah-laku seluruh keluarga) adalah demi kebaikan mereka, dan itulah tanda dari cinta kasihnya. Padahal apa yang disebut sebagai "cinta kasih" tersebut adalah sesuatu yang tidak dinikmati oleh suami/istri dan seluruh keluarganya. Untuk dapat menolong pribadi dengan ketertutupan eksistensial:


1 Perlu adanya pengertian dan pemahaman yang benar tentang asal- muasal pembentukan kepribadian yang unik tersebut.

Ketertutupan eksistensial biasanya terbentuk pada masa kecil. Seseorang bisa mempunyai kepribadian dengan ketertutupan eksistensial oleh karena sejak kecil ia tidak pernah :

a dibimbing untuk berkenalan dengan dunia kehidupan yang real (the real world), dan
b dibekali untuk berperan di tengah dunia kehidupan tersebut.

Setiap anak membutuhkan pengalaman "berkenalan" dengan dunia nyata. Pengalaman tersebut seharusnya dialami secara alami di tengah keluarga. Sejak kecil, setiap anak boleh tahu siapa orang-orang yang hadir dan muncul di rumahnya. Siapa orang yang mencuci pakaiannya, masak, mengepel dan tinggal di kamar belakang. Siapa orang yang sedang membetulkan telpon di rumahnya, siapa orang yang datang berjualan sayur setiap pagi si depan rumahnya. Ia boleh tahu mengapa ibu menangis. Apa artinya kalau ayah membawa mobilnya ke bengkel. Jadi, anak yang belajar berkenalan dengan dunia nyata, adalah anak yang diijinkan untuk tahu apa yang dilihat, didengar, dan dialami. Kadang-kadang ia dibawa ke luar rumah, ke gereja, ke toko, bahkan ke kebun binatang dan sebagainya. Perkenalan tersebut akan menghasilkan kesiapan anak untuk hidup dan berinteraksi dengan dunia yang nyata. Semakin banyak perkenalan tersebut semakin kenal dan siap anak untuk menghidupi kehidupan ini.

Meskipun demikian, perkenalan pada dirinya sendiri sebenarnya belum cukup. Setiap anak harus pula dibekali dengan kesiapan mental atau ia tidak dapat berperan dengan baik di tengah dunianya. Oleh sebab itu, setiap anak harus dibekali dengan berbagai komponen kepribadian yang diperlukan. Ia harus dibekali dengan rasa percaya, sehingga ia dapat bekerja sama dengan orang lain. Ia juga harus dibekali dengan rasa mampu, percaya diri, keinginan tahu, keberanian mencoba dan kemampuan beradaptasi dengan kegagalan, kasalahan dan sebagainya.

Sayang sekali banyak anak yang oleh karena satu dan lain sebab (misal: kedua orang-tua tidak merasakan perlunya memperlakukan setiap anak sebagai pribadi yang utuh) tidak siap untuk masuk ke dalam kehidupan yang nyata ini. Seringkali dengan bekal yang sangat kurang dalam jiwa mereka, muncul perasaan takut, gelisah dan tidak aman. Ada di antara mereka yang kemudian menjadi rewel, nakal, tak mau sekolah, pemalu, penakut, keras kepala dan sebagainya. Secara khusus banyak di antara mereka yang membangun dunianya sendiri, membiasakan diri untuk melihat dan menafsirkan realita yang dialami dengan perspektif dan tafsiran mereka sendiri, dan kemudian belajar memberikan reaksi emosi yang juga unik. Inilah yang menjadi proses pembentukan jiwa dengan ketertutupan eksistensial.


2 Perlu adanya kemampuan untuk menjelaskan dan mengkonfrontir pola pikir yang salah tersebut.

Kembali ke kasus L di atas, konselor mendengar dari mulut L keluhan- keluhan seolah-olah segala kebaikan dan pelayanannya tidak dihargai. L mengeluh,

"Semua kan untuk kebaikannya? Tubuhnya juga tidak sehat, main tenis kan olahraga yang berat, jadi, kalau saya diamkan saja...apa-apa saya ijinkan...bisa dibayangkan ia akan jadi apa?...mati muda barangkali...atau kena stroke...lalu siapa yang susah nanti...Terus terang aja...makan pun mesti saya batasin...kalau tidak dia maunya makan sembarangan...Juga kalau dibiarkan nih, dia maunya nonton TV sampai pagi...Jadi, terus terang, saya mesti keras sama dia...Tapi itu kan karena saya cinta dia. Herannya dia tidak mengerti maksud baik saya..."

Mendengar ini mungkin anda sebagai konselor mulai ambivalen. Ada juga poin-poin kebenaran dari L yang anda rasakan. Meskipun demikian anda harus waspada. Betul-betul waspada dengan kesan dan perasaan anda sendiri. Jangan sampai anda mentransfer kesan dan perasaan tersebut padanya. L adalah klien anda, dan untuk dapat menolong L, anda harus dapat menangkap pola pikir L yang tidak sehat.

L berpikir bahwa ia hanya dapat berbahagia jikalau suaminya menjadi seperti apa yang ia kehendaki. L merasa bahwa ia hanya dapat mengasihi suaminya, jikalau suaminya menuruti segala kemauannya. L merasa bahwa suaminya menolak dan mengkhianati cintanya jikalau ia berani melakukan hal-hal yang tidak disetujui. Nah, ini adalah pola berpikir L, dan jelas sekali dengan pola pikir ini L akan menjadi pribadi yang dirasakan menekan, membelenggu, dan memaksakan kehendak. Akibatnya, meskipun benar L merasa mengasihi suaminya, dan mungkin benar L melayani dan memberi kebutuhan-kebutuhan phisiknya, tetapi "kasih dan pelayanannya" tidak dinikmati bahkan dirasakan menjerat.

Sebagai konselor, anda harus berani mengkonfrontir pola pikir tersebut supaya L sadar akan apa yang terjadi dalam kehidupannya dan bagaimana hubungan yang sesungguhnya dengan suaminya.

Nah, dengan kedua prinsip di atas, anda dapat mulai menerapkan peran anda sebagai konselor. Tuhan memberkati.

---------------------ooooo0O0ooooo--------------------

PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

Kerapuhan Hidup

Sewaktu saya kuliah dulu, seorang dosen saya pernah menceritakan salah satu kliennya yang mengalami mental breakdown (hilangnya kewarasan) di tengah-tengah proses penyembuhannya. Saya masih teringat komentar dosen itu yang disampaikannya dengan wajah serius, "Jangan berpikir bahwa kita kuat dan hal seperti ini tidak akan pernah terjadi pada kita." Sejak saat itu sampai sekarang saya sudah menyaksikan beberapa contoh kehidupan di mana kasus tersebut terulang kembali. Adakalanya hantaman yang kita terima begitu kuat sehingga kita tak mampu menjaga keseimbangan hidup kita lagi. Kita pun akhirnya mengalami depresi atau bahkan kehilangan kewarasan-- sesuatu yang tak pernah terpikir akan menimpa kita.

Banyak orang mengenal lagu rohani It Is Well with My Soul (Nyamanlah Jiwaku) yang ditulis oleh H.G. Spafford dan mengetahui latar belakang penulisannya. Konon, lagu itu ditulisnya di atas kapal tatkala ia melintasi lautan Atlantik, tempat di mana terkubur ketiga putrinya yang mati tenggelam. Istri dan ketiga putrinya sedang dalam perjalanan ke Eropa sewaktu kapal mereka karam; si istri selamat namun ketiga putrinya meninggal dunia. Penderitaannya tidak berhenti di situ. Bertahun-tahun kemudian Spafford kehilangan putranya yang mati karena sakit. Setelah peristiwa itu, gereja di mana Spafford dan istrinya berbakti, mengucilkannya karena mereka beranggapan bahwa pasangan Spafford ini pasti berhubungan dengan kuasa gelap. Anggapan tidak berdasar ini dilandasi atas keyakinan bahwa hanya orang yang berselingkuh dengan setanlah yang akan kehilangan keempat anaknya. Spafford dan istri terpaksa pindah ke tempat yang jauh untuk memulai hidup yang baru. Hari tua Spafford tidaklah terlalu bahagia sebab pada akhirnya ia menderita sakit jiwa.

Apa yang terjadi dengan Spafford sehingga ia yang dapat menulis lagu yang agung dan mencerminkan iman yang kuat itu bisa mengalami sakit jiwa? Spafford tegar menghadapi kematian ketiga putrinya; ia pun tetap tabah menerima kematian putranya. Namun tatkala ia harus dibuang oleh orang-orang yang seharusnya merangkul dan mendukungnya, ia tak kuasa menahan penderitaannya lagi. Sistem pertahanan hidupnya runtuh dan jiwanya pun retak. Mungkin ada di antara anda yang berargumen bahwa seharusnya ia tetap waras sebab bukankah Tuhan mampu menolongnya. Sudah tentu Tuhan membantunya dan jika ia tekun beriman, tidak seharusnya ia mengalami sakit jiwa. Memang betul, namun dalam hidup banyak peristiwa yang tidak seharusnya terjadi. Mestinya kita beriman dan bersandar pada Tuhan, tetapi tidak selalu kita beriman dan bersandar pada-Nya. Mungkin itu yang terjadi pada Spafford; di episode terakhir hidupnya, tanggul pertahanannya bobol akibat tekanan arus yang terlalu kuat. Banjir penderitaan pun menggenangi sukmanya dan melumpuhkan kesanggupannya untuk hidup.

Ada beberapa langkah awal yang dapat kita lakukan untuk memelihara kesehatan jiwa. Pertama, kita harus memaklumi keterbatasan kita. Kita mesti menerima fakta bahwa kita tidak selalu kuat dan pada titik tertentu, kita bisa ambruk. Dalam beberapa kasus mental breakdown yang pernah saya saksikan, saya memperhatikan adanya unsur sikap tidak mengenal batas pada mereka yang mengalaminya. Kita perlu mengenali batas kemampuan kita dan memahami tanda atau sinyal yang dibunyikan tubuh kita, misalnya kesulitan tidur yang berkepanjangan, kesukaran berkonsentrasi, pikiran yang berjalan dengan cepat ibarat balapan mobil, atau perasaan yang naik turun tak terkendali namun lebih banyak turunnya. Semua itu adalah tanda awas yang harus kita terima dengan lapang dada bahwa kita memerlukan bantuan ekstra dari luar. Dengan kata lain, kita sedang berada di ambang batas untuk dapat terus bertahan dengan waras.

Kedua, kita mesti menyadari bahwa sebagian besar kekuatan kita sebetulnya berasal dari topangan yang kita terima dari luar, misalnya orang-orang di sekitar kita atau lingkungan hidup yang mendukung. Kehilangan ketiga putrinya dan bahkan kematian putranya tidak meruntuhkan Spafford; namun tatkala gereja mencampakkannya, ia ambruk. Secara pribadi saya menyadari bahwa saya sehat seperti sekarang ini dikarenakan dukungan moral yang saya terima dari banyak faktor seperti, istri dan anak-anak saya, sanak keluarga yang memperhatikan saya, teman-teman yang begitu akrab dan baik, serta pekerjaan yang memuaskan hati. Saya kira hidup saya akan menjadi sangat lain jika semua unsur di atas ini ditarik keluar dari dalam kehidupan saya. Jadi, memang kita perlu memelihara jalinan persahabatan yang baik dengan orang-orang di sekitar kita. Manusia yang hidup sendiri akan merusak dirinya sendiri.

Sesungguhnya kita adalah orang yang tidak terlalu kuat; kekuatan yang kita miliki sebenarnya hanyalah sesaat dan sebatas kulit permukaan. Kita adalah penerima kekuatan dari pihak lain: Tuhan, orang lain, lingkungan hidup, dan pekerjaan. Hargailah semuanya itu; bersyukurlah karena Tuhan berkenan memberikan semua itu kepada kita. Saya menyimpulkan bahwa kewarasan kita merupakan hadiah dari Tuhan saja. Saya akan akhiri dengan bait pertama lagu Spafford itu (terjemahan bebas) untuk mengingatkan kita bahwa hidup ini tidak selalu dipenuhi kekuatan dan bahwa jiwa kita tidak selalu dalam keadaan baik.

Tatkala damai--bak sungai--hadir di jalanku. Ketika kesusahan-- seperti gelombang besar--menggulung. Apa pun yang terjadi, Engkau telah mengajarkanku untuk berkata, Jiwaku baik, jiwaku baik.

Keterikatan dan Ketergantungan

Hidup manusia sebagai makhluk sosial memang penuh keajaiban. manusia diciptakan dengan hati nurani yang peka dan kebutuhan akan kedekatan bahkan ikatan dengan sesamanya. Manusia membutuhkan teman juga sahabat yang dicari dan coba ditemukan melalui konteks kehidupan. Kadang-kadang keakraban yang dinikmati dengan pribadi tertentu merupakan keakraban dimensional, artinya hanya pada dimensi-dimensi tertentu. Bahkan tidak jarang situasional atau tergantung mood dan situasinya. Kadang-kadang pula kedekatan dengan pribadi "yang dicintai" betul-betul dapat dinikmati, tetapi tidak jarang kedekatan tersebut menyakitkan. Keakraban dapat dikomunikasikan dalam bahasa verbal, non-verbal, sikap, mimik, pandangan mata, dan perbuatan. Bahkan yang mengherankan, dalam konteks tertentu, silent/diam bisa merupakan bahasa yang sangat kaya untuk mengkomunikasikan hubungan yang akrab antar dua pribadi.

Hubungan sosial antar manusia juga penuh dengan dinamika. Apa yang efektif dalam konteks hidup di masa lampau belum tentu efektif dalam situasi dan kondisi yang baru. Ini nampak jelas dalam hubungan antara orang tua dan anak. Perubahan terus terjadi dan kedua belah pihak harus terus belajar menyesuaikan diri. Pada masa anak-anak masih kecil, keakraban dengan mereka dapat dimanifestasikan dalam dekapan, ciuman, cumbuan, dan kemanjaan. Pada saat mereka sudah semakin dewasa keakraban tersebut cenderung lebih mamakai bahasa verbal yaitu melalui percakapan dari pribadi-pribadi yang dituntut untuk saling memahami dan menghargai. Kedua-belah pihak dituntut untuk saling menyesuaikan diri secara aktif, atau keakraban "yang sehat" sulit terbentuk dan tak pernah berfungsi secara efektif. Kadang-kadang keakraban bahkan menghasilkan ketergantungan dan kekerdilan. Sehubungan dengan itulah berbagai masalah hidup manusia timbul. Coba perhatikan kasus di bawah ini.

A adalah ayah dari dua orang anak yang masih kecil-kecil. Sebagai anak tunggal dari keluarga yang kaya, A tak pernah dilatih untuk mandiri dan memikul tanggung jawab. Pernikahan, kehidupan keluarga dan pekerjaan A semua diatur oleh kedua orang tuanya. Sebagai pewaris perusahaan orang tua yang maju, A tak mempunyai peran yang jelas. Segala keputusan masih di tangan orang tua. Kehidupan rumah tangganya juga unik, dengan dua orang baby-sitter dan seorang pembantu, istrinya tak pernah diberi kesempatan untuk mengasuh anak-anaknya sendiri. Semua sudah diatur beres oleh orang tua A, sampai makananpun setiap hari dikirim dari rumah orang tua.

Hari ini istri A menemui anda untuk konseling. Ia datang bersama A yang tidak mengerti mengapa istrinya tertekan dan tidak puas. Menurut A kehidupan rumah tangganya baik, dan segala kebutuhan terpenuhi, bahkan kedua orang tuanya sangat mengasihi mereka. A heran dan merasa bahwa istrinya tidak tahu berterima kasih pada orang tuanya. Ia berkata, "Rumah, mobil, baby-sitter, makanan, uang, pekerjaan dan lain-lain semua sudah disediakan orang tua...apa yang kurang?" Bagi istrinya, masalahnya bukan di situ. Ia cuma merasa bahwa hidup yang dihidupinya tidak wajar sehingga kebutuhan batinnya untuk menjadi manusia seutuhnya, yang mempunyai kebebasan untuk berkreasi dan mengatur hidupnya sendiri tidak ada. Ia kurang menghargai A oleh karena tak ada peran sebagai suami, ayah, dan kepala rumah tangga. Di kantor ia tak punya peran apa-apa, di rumah ia sehari-harian nonton TV, makan atau tidur, dan dalam segala hal ia minta tolong orang tua, khususnya ibunya. Istrinya mengeluh, merasa putus asa dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Bercerai tak mungkin, karena ia seorang Kristen, tetapi mau terus ia sangat ragu-ragu.

Sebagai teman, anda dapat manjadi konselor untuk keduanya. Mereka kebetulan datang ke rumah anda dan menceriterakan pergumulan dan persoalannya. Kesempatan untuk berperan sebagai konselor sudah Tuhan sediakan. Untuk itu, beberapa prinsip di bawah ini dapat anda pakai.

1 Hindarkan diri dari orientasi yang cuma melihat pada masalah yang ada dan berpeganglah pada kebenaran Alkitab yang telah digariskan dengan jelas.

Pertama, kalau Alkitab melarang perceraian (Mat 19:6; 1 Kor 7) maka apapun dan bagaimanapun keadaan hubungan suami-istri tersebut, tetap subjektivitas kesan pribadi tidak boleh menjadi standar sikap yang anda ambil. Jangan sampai "keinginan untuk memahami dan empati" sebagai sahabat dan konselor, mendahului kebenaran firman Allah. Walaupun perasaan anda membenarkan keinginannya untuk bercerai, anda harus menolong klien anda melihat dari perspektif kebenaran firman Tuhan dan menemukan alasan "mengapa" Tuhan tidak menghendaki perceraian (Mal 2:16). Mungkin selama ini klien anda juga tidak pernah mengerjakan pernikahan yang sudah diijinkan dan dipercayakan Allah kepadanya.

Kedua, kalau Alkitab mengajarkan prinsip menundukkan diri, dan menjadi penolong yang sepadan bagi suami (Ef 5:22; 1 Pet 3:1), maka anda harus menghidupkan kesadaran akan pentingnya peran yang Allah berikan pada istri A. Sekali lagi, jangan anda bereaksi sesuai dengan insting subjektivitas anda dan membenarkan sikap istri A yang mungkin beralasan "bagaimana mungkin dapat menghargai suami yang tak punya peran dan tanggung-jawab". Sebagai konselor Kristen, anda harus percaya bahwa "takut dan kepatuhan akan kebenaran firman Tuhan adalah permulaan segala kebajikan (1 Sam 15:22; Ams 1:7). Bimbinglah istri A sampai ia benar-benar mengimani bahwa "apa dan bagaimana hasilnya nanti" tak perlu dibicarakan sekarang. Yang perlu adalah ketaatan akan firman Allah oleh sebab itu jadilah seorang istri yang mengasihi, taat dan biarkan Tuhan berkarya (1 Pet 3:1-6).

Melalui dua hal di atas anda akan mulai betapa kesulitan utama dari konseling adalah diri konselor itu sendiri yang cenderung hanyut dalam simpati (dan bukan hanya " empati"), menjadi humanistik dan ingin berperan sebagai juruselamat, yaitu mengambil-alih tanggung- jawab klien dengan segera membebaskannya dari gangguan hidupnya. Dalam proses konseling yang tidak sehat itu, tempat dari Allah tidak ada, dan kebenaran firman-Nya hanya menjadi simbol yang kosong (bandingkan dengan Yak 4:13-17). Peran konselor Kristen sebenarnya hanya menjadi pencipta "suasana yang kondusif" yang memungkinkan kebenaran firman muncul dan berperan secara maksimal. Tugas konselor Kristen hanyalah membuka pintu dan mempertemukan klien anda dengan Allah sumber kebenaran, tetapi apa dan bagaimana itu bisa terjadi, adalah suatu art/seni tersendiri. Konseling adalah "mempersiapkan jalan untuk Tuhan ...dimana setiap lembah dalam jiwa manusia harus ditutup, gunung dan bukit yang terjal diratakan...tanah yang berlekuk-lekuk diluruskan...sehingga klien dapat melihat kemuliaan Tuhan (Yes 40:3-5)."



2 Fahamilah natur dari kedewasaan pribadi. Semakin dewasa pribadi seseorang, ia semakin mampu menempatkan diri di tengah situasi dan kondisi apapun juga. Sumber kebahagiaan orang yang dewasa biasanya berasal dari dalam jiwanya sendiri. Semakin dewasa jiwa seseorang semakin ia mampu mencipta kebahagiaan yang dapat dinikmati orang- orang di sekitarnya dan ia tidak menimba kebahagiaan dari luar dirinya.

Sebagai konselor, anda memang harus dapat berempati atas ketidak- bahagiaan istri A, karena memang kebutuhan primernya tidak terpenuhi. Meskipun demikian, anda harus menyadari bahwa empati dan pemahaman yang sempurnapun tidak berfaedah jikalau klien anda tidak ditolong untuk memahami dirinya sendiri. Ia harus dapat mengerti bahwa dirinya tidak berbahagia oleh karena jiwanya yang tidak dewasa sehingga sumber kebahagiaannya tergantung dari hal-hal di luar dirinya sendiri yaitu pada suami dan orang-orang lain. Sebagai istri, menantu, dan ibu, ia tidak mampu mencipta dan mengubah situasi dan kondisi kehidupannya sendiri.

Jadi, konseling adalah menolong klien tersebut menghargai potensi yang ada pada dirinya, sehingga ia dapat berfungsi dengan lebih baik dalam kehidupannya.



3 Untuk suaminya, anda perlu menemukan sumber masalahnya dan membedakan antara faktor penyebab dan faktor pencetusnya. Kemungkinan besar, si A tidak berperan dan tidak berfungsi oleh karena sistem yang telah dicipta, diteruskan dan dinikmati oleh kedua orang tuanya. Mungkin tanpa disadari, mereka mempunyai kebutuhan "keterikatan dan ketergantungan dari A anak tunggal mereka." Kebutuhan neurotik tersebut menjadi faktor penyebab dari kelumpuhan peran dan tanggung-jawabnya. Oleh sebab itu, fokus konseling harus pada faktor penyebab tersebut dan bukan pada faktor pencetus yaitu hubungan dengan istri, anak, kehidupan praktis dan pekerjaan, meskipun hal-hal ini selalu menjadi konteks praktis dimana pengaruh faktor penyebab dapat lebih disadari.

Dalam hubungan dengan faktor penyebab tersebut, anda sebagai konselor perlu menyadari: (a) Apa yang sudah terbentuk selama proses bertahun-tahun tak mungkin dapat diubah dalam waktu singkat melalui nasehat. Walaupun mungkin si A mengerti dan bertekad untuk memperbarui hidupnya, kemungkinan besar ia tidak mempunyai dorongan dan kekuatan untuk melakukannya. Oleh sebab itu, yang perlu adalah menolong dia masuk dalam proses kehidupan dalam sistem hidup yang baru secara bertahap. Mulai dengan menemukan dan menyadari diri sendiri melalui sistem nonjudgemental open-sharing/sharing secara terbuka tanpa menilai dan kehidupan sehari-hari. Biasanya, melalui pengalaman sharing yang tidak menakutkan inilah, pribadi-pribadi dengan sendirinya akan mampu meningkatkan kesadaran diri mereka. Barulah secara terpisah, anda bertemu dengan A membicarakan topik yang sempat menghangat dalam open sharing tersebut, dan biarkan A menemukan kesimpulan-kesimpulannya bahkan menentukan sendiri strategi untuk mengaplikasikan dalam kehidupan praktisnya. (b) Tempat dari istri A di tengah hubungan antara A dengan kedua orang tuanya selama ini tidak jelas. Oleh sebab itu, untuk memudahkan buatlah bagan yang menjadi pola interaksi yang ada. Mintalah A menjelaskan "di mana tempat dan peran istrinya dalam pengambilan keputusan dan mengapa demikian?" Kemudian diskusikan secara lebih mendalam sekitar "prinsip-prinsip" yang selama ini dipegang, apa yang seharusnya, dan mengapa demikian?

Mudah-mudahan dengan usulan diatas, anda dapat berperan sebagai konselor bagi teman anda tersebut. Tuhan memberkati.

Oleh: Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D





PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

Sarang yang Kosong

Di dalam bukunya, Turning Hearts Toward Home sebuah biografi tentang kehidupan dan pelayanan Dr. James Dobson, Rolf Zettersten menuliskan perjumpaannya dengan Dr. Dobson sedang terduduk dengan mata merah dan pipi yang basah dengan air mata. Sehari sebelumnya, Dr. Dobson baru saja melepas putra bungsunya, Ryan, untuk pergi berkuliah ke tempat yang jauh kepergian yang mengawali fase "sarang yang kosong" di keluarga Dr. Dobson. Di dalam surat yang ditulisnya sendiri untuk melukiskan perasaan kehilangannya itu, Dr. Dobson menggambarkan rumahnya setelah ditinggal oleh putra-putrinya bak "biara - rumah makam - musium." Secara lebih grafik Dr. Dobson menggambarkan masa "sarang yang kosong" itu sebagai waktu di mana "ban sepeda akan kempes, skateboard menjadi bengkok dan tergeletak begitu saja di garasi, ayunan terdiam sunyi, dan ranjang kosong ditinggal penghuninya."

Sarang yang kosong merupakan istilah yang melukiskan periode dimana orang tua akan tinggal sendiri lagi tanpa anak yang telah akil balig. Ibarat induk burung yang membesarkan anaknya dalam sarang, pada suatu ketika ia harus membiarkan anaknya terbang meninggalkan sarang...untuk selamanya. Saya belum memasuki fase itu dan tidak bisa berkata banyak tentang masa yang belum saya lalui. Namun, dalam kurun 3 tahun, jika Tuhan kehendaki, saya dan istri saya akan mulai harus melepas anak pertama kami. Kadang, meski belum mengalaminya secara langsung, pemikiran bahwa saya akan berpisah dengan anak-anak sudah cukup meresahkan dan membawa kesedihan yang dalam.

Seperti keluarga lainnya, setiap hari kami melakukan hal-hal yang rutin bangun tidur, menyediakan air untuk anak mandi, istri saya menyiapkan sarapan untuk kami semua, anak-anak pergi ke sekolah dan akhirnya pulang dari sekolah menonton kartun, belajar, latihan piano, menonton televisi lagi, saat teduh, dan tidur. Namun dalam kerutinan itulah terletak bonding ikatan batiniah dan familiarity pengenalan dan keterbiasaan.

Gordon Allport mengemukakan bahwa diri manusia terbangun dari kepingan-kepingan psikofisik yang disatukan oleh intensi tujuan atu arah hidup. Psikofisik menandakan bahwa pribadi manusia merupakan kombinasi dari pengalaman atau bentukan yang bersifat psikologis dan bawaan yang berkodrat biologis. Semua itu bercampur menjadi diri dan diri itu menjadi utuh oleh karena adanya tujuan hidup yang mengarah ke masa depan.

Kehadiran anak dan pengalaman hidup bersamanya hari lepas hari sudah tentu merupakan kontribusi terhadap diri kita pula kontribusi yang membentuk diri kita. Keberadaan anak juga merupakan bagian dari intensi tujuan dan arah hidup yang membuat kita melangkah ke depan dalam kepastian. Kepergian anak menuntut kita untuk menciptakan ulang intensi atau tujuan dan arah hidup kita. Anak-anak yang telah menjadi bagian diri kita sekarang dan arah hidup di masa mendatang akan terbang meninggalkan sarangnya dan sesuatu pada diri kita akan turut terbang pula bersamanya. Ikatan itu akan lepas, segalanya yang begitu dikenal dan terbiasa akan berubah menjadi asing ban sepedanya kempes, ayunannya terdiam sunyi, ranjangnya kosong. Kepingan psikofisik kita tidak utuh lagi dan intensi kita goyang.

Saya tidak sedang membicarakan pengalaman pribadi melewati sarang yang kosong itu sebab saya belum mencapainya. Sebetulnya saya tengah membagikan pengalaman saya sekarang yang sedang dibayang-bayangi oleh gambaran terbangnya anak kami satu per satu. Buat sebagian saudara, saya mungkin terlalu sentimental; buat saya sendiri, saya hancur dan sedih melewati batas sentimental. Berbelasan tahun saya membagi hidup dengan mereka dan sekarang kepergian yang tadinya nun jauh di sana mulai tampak. Bagaimanakah saya dapat hidup tanpa mendengar derai tertawanya, memegang tangannya, mengecup pipinya sebelum tidur, dan memeluk tubuhnya?

Beberapa waktu yang lalu di tengah malam buta, kami dikejutkan oleh suara panggilan salah seorang anak kami. Rupanya ia terjaga karena sakit kepala dan saya langsung memapahnya ke kamar mandi serta menolongnya untuk muntah. Setelah itu istri saya membawakan minyak kayu putih yang langsung saya oleskan pada tubuhnya. Dalam waktu sekejap, ia pun terlelap kembali. Malam itu saya tidur di sampingnya dan untuk sejenak saya merenungkan peristiwa yang baru saja terjadi. 'I want to be there when you throw up." Itulah kata-kata yang keluar dari hati saya sewaktu saya memandanginya tidur dengan pulas. "I want to be there when you throw up."

Saya ingin bersamanya sewaktu ia muntah sebuah permintaan yang musykil dan lebih merupakan sebuah protes terhadap kodrat alamiah yang telah Tuhan tetapkan. Kepingan itu harus lepas dengan bebas; tatapan ke masa depan itu mesti berganti arah walau dengan berat hati. Saya tidak boleh turut terbang meninggalkan sarang yang kosong itu. Sarang yang kosong itu untuk saya.

Sayup-sayup saya mendengar, "Ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk." ...betapa susahnya...!

PERTANYAAN ANDA

Kedua anak kami (dua-duanya wanita) sudah di SMU. Tanpa terasa hidup begitu cepat, dan mereka segera akan meninggalkan kami. Mereka sedang dalam proses mempersiapkan diri untuk sekolah di Amerika. Suami saya sibuk dengan usahanya sehingga sulit untuk diajak bicara; saya sendiri akhir-akhir ini rasanya tegang sekali, dan kadang- kadang muncul pertanyaan-pertanyaan dan keraguan, apakah saya sudah memilih jalan yang tepat untuk mereka?

Mengamati tingkah laku anak-anak saya, rasanya mereka tidak atau belum siap untuk mandiri. Dalam banyak hal mereka kelihatannya masih sangat kekanak-kanakan. Mengatur kamarnya sendiri saja tidak bisa, Bu. Makan, tidur, pemakaian uang, mengisi waktu libur, d.l.l...masih harus disupervisi. Juga yang sangat mencemaskan adalah pergaulan dengan teman-temannya. Sulit dinasehati, bahkan seringkali tidak suka kalau saya bertanya darimana atau mau kemana dengan siapa. Saya juga baru sadar, pengenalan mereka tentang Tuhan minim sekali.

Saya bingung, apa yang saya harus lakukan karena saya sangat mencintai mereka, menunda keberangkatan?...saya tidak tega, sedangkan melepaskannya saya juga tidak berani??

Jawab :

Sikap orangtua memang sangat menentukan pembentukan konsep dari anak tentang dirinya, tentang hidup dan tentunya tentang Tuhan. Sistem yang sudah terbentuk memang sulit diubah, terutama disini anda kelihatannya mendidik sendiri, suami kurang terlibat dan mungkin tidak mendapat tempat; hal ini menjadi lebih jelas pada saat anda ragu-ragu dan kuatir suami kurang peduli. Ketika anda gelisah seperti ini rasanya semua yang kurang terbentang di pelupuk mata anda, tanggung jawab, pergaulan bahkan hubungan mereka dengan Tuhan.

Kasih anda kepada mereka yang begitu besar, sangat nampak dari keluhan anda sendiri, bahwa sampai hal yang kecil-kecil anda masih menjadi "otak" bahkan mungkin anda mengambil alih semua tanggung jawab. Satu pihak mungkin anda senang dengan apa yang anda lakukan selama ini yaitu tanpa sadar anda sudah memanjakan mereka secara berlebihan. Di pihak lain pada saat sekarang mereka ingin menunjukkan kemandirian mereka, anda merasa tertolak dan usaha anda tidak lagi mendapatkan respon yang menyenangkan.

Ada beberapa hal yang dapat menjadi bahan pertimbangan:

a Kesadaran anda akan tanggung jawab utama yang anda belum lakukan selama ini adalah menanamkan prinsip-prinsip kebenaran dalam hati sanubari mereka, walaupun yang nampak di permukaan adalah kekuatiran anda kehilangan anak-anak (empty nest syndrome). Tidak ada kata terlambat...belajarlah bertanya "bagaimana menggunakan waktu yang ada untuk memberikan kepada mereka yang terbaik." Memang prinsip kebenaran tidak bisa diberikan semuanya dalam waktu yang sempit ini, tapi paling tidak anda bisa mulai dengan mendoakan secara terperinci apa yang anda rasakan sangat dibutuhkan mereka. Jangan sampai seperti keluarga imam Eli (1 Sam 3:13-14) yang akhirnya dibinasakan Tuhan karena "anak-anaknya telah menghujat Allah, dan ia tidak memarahi mereka..." Mintalah pimpinan Tuhan bagaimana mengkomunikasikan kekuatiran anda kepada suami, supaya anda bisa berbagi tentang masalah ini, tanpa ada kesan menimpakan kesalahan pada suami.


b Mencintai anak merupakan art/seni yang membutuhkan tanggung jawab dan disiplin yang tinggi. Perbaharuilah sistem interaksi dalam keluarga supaya anda bersama suami dapat menciptakan sistem yang kondusif dimana peran dan tanggung jawab mereka sebagai orang dewasa dapat dimanifestasikan. Kekompakan, keseriusan dan konsistensi anda berdua akan menghasilkan sistem kehidupan baru. Hal ini dapat dilakukan secara bertahap tentunya, yaitu bagaimana mereka dapat mengatur diri mereka sendiri, mulailah dari hal-hal yang sederhana dan tidak perlu nasehat yang terlalu banyak.


c Biasakan juga untuk bicara pribadi dengan anak-anak, ungkapkan kekuatiran anda, bagikan pergumulan anda dan jangan takut konflik oleh karena perbedaan pendapat, jadilah teman untuk mereka.


d Kekuatiran anda tidak dapat mengubah dan menyelesaikan masalah mereka, namun anda juga dapat berdoa seperti yang ditulis Dr. James Dobson "be there Father, in the moment of decision when two paths present themselves to our children. Especially during that time when they are beyond our direct influence, send others who will help them do what is righteous and just"/Hadirlah ya Tuhan, pada saat-saat anak-anak kami harus memilih. Terutama saat kami jauh; kirimkan orang yang mampu menolong mereka untuk melakukan apa yang benar dan adil di mataMu."

Isyarat-Isyarat

Saya merasa beruntung sekali menjadi seorang pengajar. Bagaimana tidak, ternyata banyak sekali hal baru yang saya ketahui setelah menjadi pengajar. Salah satunya adalah pokok pikiran di bawah ini yang saya pelajari setelah saya mengajar mata kuliah Psikologi Abnormal. Pelajaran yang saya terima ini berkaitan dengan hubungan orangtua-anak pada waktu anak berpisah dari orangtuanya.

Dalam bukunya, Abnormal Psychology and Modern Life, 5 th Edition, J.C. Coleman mengutip riset yang dilaporkan oleh Bowlby pada 1960 dan 1973. Bowlby mengamati reaksi anak usia 2 hingga 5 tahun, tatkala mereka berpisah dari orangtua mereka untuk masa yang lama sewaktu anak-anak ini dirawat di rumah sakit. Ternyata ada tiga reaksi anak yang ditunjukkannya secara bertahap. Pada awalnya, anak mulai memprotes, yakni menunjukkan ketidaksetujuannya dan ketidaksediaannya dipisahkan dari orangtua. Pada tahap ini anak biasanya lebih sering menangis dan menjerit. Reaksi berikutnya ialah putus asa, di mana anak menampakkan wajah yang murung dan pandangan yang kosong. Anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak aktivitas yang dilakukannya, dan mulai menarik diri dari lingkungan di sekitarnya. Tahap ketiga dan terakhir adalah menjauh, di mana setelah anak pulang ke rumah, ia tetap tampak tidak peduli dengan ibunya dan ada kalanya memperlihatkan sikap marah atau bermusuhan dengan ibunya.

Saya kira semua orangtua akan terenyuh apabila harus menyerahkan buah hatinya untuk dirawat di rumah sakit. Semua anak kami pernah "dirumahsakitkan" dan saya masih ingat betapa sedihnya hati kami pada saat-saat itu. Menurut saya, pengamatan Bowlby ini sangatlah berfaedah karena memberikan informasi kepada kita tentang apa yang kira-kira dialami oleh anak tatkala berpisah dari kita, orangtuanya. Ketiga tahap reaksi anak sesungguhnya mencerminkan satu objek reaksi yang sama yakni reaksi terhadap menghilangnya orang yang dikasihi dan mengasihinya. Masih dalam buku yang sama, J.C.Coleman juga melaporkan satu eksperimen tentang kera yang dibesarkan sendirian dalam kandang tanpa induk ataupun kera lainnya. Ternyata kera ini memperlihatkan perilaku yang menyimpang.Ia berdiam diri dan mendekam di sudut kandang sendirian, menampakkan wajah yang lesu dan penuh dengan ketakutan.

Sekarang saya ingin masuk ke inti pembahasan. Baik pengamatan Bowlby maupun eksperimen tentang kera menunjukkan satu hal yang jelas, yakni anak memerlukan interaksi yang hangat dengan orang tuanya. Kekurangan interaksi yang hangat dengan orangtua berpotensi menimbulkan perilaku yang menyimpang pada diri anak. Sewaktu saya bekerja sebagai Children's Social Worker, ada satu hal yang mengganggu sanubari saya. Kami semua berusaha melindungi anak-anak yang dianiaya, disalah asuh, dilalaikan, dicabuli, dieksploitasi, dan sebagainya, dengan harapan, perlindungan dan suasana rumah yang berbeda (sewaktu mereka dirawat di rumah asuh) dapat menjadikan mereka manusia dewasa yang sehat dan matang. Namun, cukup banyak anak-anak yang bertumbuh besar menjadi pemuda-pemudi yang bermasalah.

Saya mengamati, anak yang harus berpindah-pindah rumah asuh cenderung menjadi anak yang bermasalah. Sedangkan anak yang diasuh di dalam rumah dan keluarga yang sama cenderung bertumbuh besar menjadi pemuda pemudi yang mantap. Saya kira alasannya cukup jelas. Anak membutuhkan ikatan batiniah yang permanen dengan orangtua atau pengasuhnya. Ikatan batiniah yang permanen adalah wadah terciptanya dan tumbuhnya interaksi hangat yang sangat dibutuhkan oleh anak. Tanpa ikatan batiniah, anak dapat bertumbuh besar tanpa arah dan kehilangan pegangan.

Interaksi yang mesra dan hangat dengan orangtua merangsang anak mendayagunakan semua potensi dalam dirinya. Tuhan melengkapi anak dengan kemampuan-kemampuan yang berperan besar dalam pembangunan kepribadian yang mantap. Pemberian Tuhan ini (hanya) dapat bertumbuh secara maksimal apabila anak berada di lingkungan yang aman, hangat, dan merangsang pendayagunaan kemampuan-kemampuan tersebut. Tanpa rasa aman, kehangatan, dan rangsangan yang memadai, kemampuan anak cenderung tidak tergali secara optimal. Akibatnya adalah ia akan kekurangan bahan untuk membangun penilaian dirinya yang positif.

Di samping itu, interaksi yang mesra dan hangat antara anak dengan orangtua menyediakan model atau contoh hidup yang sangat ia butuhkan dalam masa pertumbuhannya itu. Anak berpotensi dapat kehilangan pegangan dalam masa pertumbuhannya apabila ia jarang atau sedikit melihat dan berinteraksi dengan orangtuanya - yakni model atau contoh hidup itu. Pada dasarnya kita dapat mengibaratkan hidup ini dengan proses belajar yang tidak ada habisnya. Pada usia balita, kita belajar berjalan dengan cara melihat bagaimana orang di sekitar kita berjalan. Kita belajar berbicara dengan cara meniru orang di sekeliling kita berbicara. Tidak mengherankan apabila ada anak yang gaya jalan dan bicaranya persis dengan ayah atau ibunya. Bayangkan jika kita disuruh berbicara dan berjalan tanpa ada contohnya. Kita hanya akan bisa berkutat mencoba segala cara dan merasa "kehilangan pegangan". Kira-kira inilah yang dialami oleh anak yang sedang bertumbuh menjadi besar namun kekurangan interaksi dengan orangtuanya. Banyak hal dalam hidup ini yang perlu ia pelajari. Ia membutuhkan seorang guru yang dapat menjadi teladan baginya. Kehadiran orangtua yang dapat menjadi suri teladan bagi anak, akan menciptakan kepribadian anak yang memiliki pegangan.

Di rumah, saya mendapat "tugas" untuk menidurkan anak laki-laki kami. Anak kami ini senang sekali bermain dengan anjing-anjing kami dan kebetulan salah satu anjing kami memang agak galak. Sudah berulang kali saya dan istri saya mengingatkannya untuk tidak bermain telalu kasar dengan anjing tersebut. Kemarin malam sebelum tidur, kedua putri kami memberi "laporan" kepada saya bahwa putra kami bermain kasar lagi dengan anjing tersebut. Sebenarnya saya ingin memarahinya lagi namun berhubung baru beberapa hari yang lalu saya memarahinya untuk hal yang sama, saya memutuskan hanya menegurnya saja. Biasanya untuk menidurkan putra kami itu, saya hanya bercerita kepadanya. Malam itu hati saya jengkel, jadi saya tidak bercerita, dan ia pun tidak berani meminta saya bercerita (mungkin karena melihat wajah saya yang muram).

Setelah beberapa saat berlalu, dia hanya berguling-guling saja dan tidak dapat tidur, meskipun saya sudah memejamkan mata (salah satu teknik untuk menidurkan anak). Tiba-tiba ia menarik tangan saya dan meletakkannya di atas pipinya, seolah-olah meminta saya untuk menyayanginya sebelum ia tertidur. Hati saya luar biasa sedihnya melihat ia menarik tangan saya dan meletakkannya di atas pipinya. Saya baru diingatkan bahwa setiap malam sebelum tidur, saya selalu mencium dan membelai pipinya. Kemarin malam saya tidak melakukannya karena saya sedang jengkel terhadapnya. Tindakannya itu menunjukkan bahwa ia membutuhkan belaian saya dan akhirnya setelah ia meletakkan tangan saya di atas pipinya, barulah ia tertidur. Tanpa saya sadari, belaian tangan saya telah menjadi ungkapan kasih yang menimbulkan rasa damai dalam kalbunya.

Peristiwa di atas saya tuturkan kembali untuk memperlihatkan begitu banyak makna yang disampaikan kepada anak melalui tindakan-tindakan kita sehari-hari, yang nyaris tidak kita perhatikan karena tampak begitu sederhana.

Kenyataannya adalah, semua tindakan kita - betapa pun sederhananya- membawa makna-makna yang menciptakan dan memperkuat ikatan batiniah antara kita dan anak. Sesungguhnya, tindakan kita sehari-hari merupakan isyarat-isyarat yang menyampaikan begitu banyak pesan kepada anak. Misalnya, "Kami mengasihimu", "Kami memarahimu karena kami tidak ingin kamu terluka di kemudian hari", "Kami mengampunimu", dan segudang pesan penting lainnya yang ia butuh dengar dari kita, hari lepas hari.

Tidak heran, seekor kera bisa memperlihatkan sikap yang penuh ketakutan tatkala ia dibesarkan tanpa orangtuanya. Pengamatan Bowlby juga memberi kita peringatan bahwa keterpisahan anak dengan orangtua membawa dampak-dampak tertentu yang perlu kita sadari. Anak ingin dan perlu membaca isyarat-isyarat dari kita, orangtuanya, isyarat- isyarat yang menekankan bahwa ia merupakan bagian dari hidup kita yang penting. Sebagai penutup, pesan dari Gary Smalley dan John Trent mungkin baik untuk kita ingat, "Orangtua adalah alat Tuhan untuk membangun kedewasaan -kesempurnaan -dalam kehidupan seorang anak."

Dan jangan lupa, peran dan fungsi kita sebagai alat Tuhan ini hanya berlaku untuk sementara waktu saja. Jadi, gunakanlah kesempatan emas ini sebaik-baiknya. Kirimkanlah isyarat sebanyak-banyaknya! Tuhan memberkati kita sekalian.

PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

Gaya Belajar

Dalam majalah Fokus on the family, edisi Oktober 1994, ada sebuah artikel karya Cynthia Ulrich Tobias yang menarik perhatian saya. Artikel tersebut berjudul The Way They Learn. Ny. Tobias menjelaskan bahwa ada empat gaya atau cara kita belajar (menangkap pelajaran) dan ia mendasarkan pokok pikirannya itu pada hasil riset Dr. Anthony F. Gregorc. Menurut Dr.Gregorc, ada dua hal penting yang perlu diketahui tentang bagaimanakah kita menangkap suatu pelajaran.

Pertama adalah persepsi, yakni bagaimanakah kita menangkap sesuatu. Ternyata ada di antara kita yang lebih cepat menangkap sesuatu yang nyata atau konkret dan ada yang lebih cepat menangkap sesuatu yang tidak kasatmata atau abstrak. Kedua, setelah kita menangkap sesuatu pelajaran atau informasi yang baru itu secara berurutan dan ada yang mengaturnya secara acak. Anak yang bertipe berurutan biasanya menyukai metode belajar satu demi satu sedangkan anak yang bertipe acak lebih menyukai metode belajar secara spontan tidak harus berurutan. Nah, berdasarkan keempat konsep ini, Ny. Tobias menyusun empat gaya belajar agar orangtua lebih dapat memahami cara anak mereka belajar. Setiap anak sebenarnya memiliki kemampuan untuk menggunakan tipe yang lain namun biasanya anak mempunyai satu tipe yang dominan.

Anak yang bertipe Konkret Berurutan biasanya mengalami kesulitan apabila ia diminta untuk menangkap suatu pelajaran yang bersifat abstrak dan yang memerlukan daya imajinasi yang kuat. Ia cenderung menangkap pelajaran yang dipresentasikan secara verbal dan yang dapat ia lihat. Dengan kata lain, ia membutuhkan banyak contoh atau peragaan dan semua ini disajikan dalam bentuk yang sistematis dan berurutan. Istilah kunci untuk anak yang bertipe Konkret Berurutan ialah satu demi satu dan nyata. Ia tidak bisa diburu-burui sebab ia harus "mengunyah" pelajaran atau informasi yang diterimanya satu per satu. Ini tidak berarti bahwa ia lebih lamban daripada anak lainnya. Keterpakuannya pada kerapian membuatnya sukar menangkap beberapa hal pada waktu yang bersamaan.

Anak yang bertipe Abstrak Berurutan dilengkapi Tuhan dengan kemampuan bernalar tinggi. Anak ini cenderung kritis dan analitis karena ia memiliki daya imajinasi yang kuat. Pada umumnya ia menangkap pelajaran atau informasi secara abstrak dan tidak memerlukan peragaan yang konkret. Biasanya ia bersifat pendiam dan menyendiri karena ia sibuk berpikir dan menganalisa. Ia pun lebih menyukai pelajaran atau informasi yang disajikan secara berurutan atau sistematis. Bagi anak ini, istilah kunci untuk tipe ini adalah spontan dan imajinatif.

Sebaliknya, bagi anak yang bertipe Abstrak Acak, pelajaran yang disajikan secara berurutan atau sistematis tidaklah menarik. Cara belajarnya tidak teratur dan penjadwalan sangatlah menyiksanya. Ia tidak terbiasa terpaku oleh pelajaran di dalam kelas; baginya semua pengalaman hidup merupakan pelajaran yang berharga. Istilah kunci untuk tipe ini adalah spontan dan imajinatif.

Anak yang bertipe Konkret Acak adalah anak yang penuh dengan energi dan ide-ide yang segar. Ia belajar banyak melalui panca inderanya dan tidak terlalu tertarik dengan hal-hal yang memerlukan penalaran secara abstrak. Ciri praktisnya yang diperkuat oleh kemampuannya menerima pelajaran secara acak membuatnya menjadi seorang anak yang penuh dengan ide-ide yang baru. Kesulitannya adalah melakukan hal- hal yang sama sebab baginya hal ini sangatlah membosankan. Anak yang bertipe ini cenderung mengalami masalah dalam sistem pengajaran di sekolah karena ia bukanlah tipe penurut. Istilah kunci baginya adalah spontan dan nyata.

Sebagaimana kita dapat melihatnya, setiap anak (dan juga kita) belajar dengan cara yang berbeda. Sebagai orangtua atau pendidik sangatlah penting bagi kita untuk mengenal ciri belajar anak kita. Pemahaman yang tepat sudah tentu akan menghasilkan buah yang optimal. Saya teringat kesaksian Pdt. Gordon McDonald akan caranya belajar. Ia berkata bahwa dulu ia sering merasa tidak enak dengan dirinya sendiri seolah-olah ia kurang bertanggung jawab sebab sulit sekali baginya memaksa diri untuk belajar atau mempersiapkan materi khotbah dari jauh-jauh hari. Walaupun ia sudah mendisiplinkan diri untuk itu, toh tetap tidak bisa. Waktu yang paling produktif baginya adalah pada malam menjelang jatuh tempo alias semalam sebelum berkhotbah. Segala ide dan inspirasi seakan-akan muncul dengan bebasnya pada saat ia berada di bawah tekanan yang amat mendesak. Pdt. McDonald berujar bahwa pada akhirnya ia menerima kondisinya sebagaimana adanya dan malah memanfaatkannya secara efektif.

Sebagai penutup, di bawah ini akan dituliskan satu kuesioner yang dikembangkan oleh Ny. Tobias berdasarkan karya pikir Dr. Gregorc. Pembaca dapat mengisinya sendiri dan setelah itu mengisinya untuk anak anda. Siapa tahu bermanfaat!

Apakah Gaya Anda?
Paparkanlah kecenderungan Anda pada umumnya. Bubuhkanlah tanda cawang (V) pada kotak yang terletak di depan setiap kalimat yang paling mencerminkan kecenderungan Anda. Jawablah sebanyak-banyaknya kalimat-kalimat yang mencerminkan ciri-ciri Anda.

A Konkret Berurutan
◦ Lebih suka melakukan sesuatu dengan cara yang sama.
◦ Paling cocok bekerja sama dengan orang-orang yang tidak ragu-ragu dalam mengambil tindakan dengan segera.
◦ Lebih tertarik akan hal-hal yang nyata atau konkret daripada mencari-cari suatu makna yang tersembunyi.
◦ Lebih menyukai ruangan yang bersih dan rapi.
◦ Bertanya, "Bagaimanakah saya mengerjakannya?"


B Konkret Acak
◦ Memecahkan masalah dengan kreatif.
◦ Bertindak tanpa pikir panjang.
◦ Paling cocok bekerja sama dengan orang-orang yang dapat mengikuti saya.
◦ Menyukai perubahan-perubahan di sekitar saya.
◦ Memilih hanya mempelajari hal-hal yang perlu diketahui.


C Abstrak Berurutan
◦ Menginginkan sebanyak mungkin informasi sebelum mengambil suatu keputusan.
◦ Membutuhkan waktu yang cukup untuk mengerjakan suatu tugas dengan baik.
◦ Lebih suka menerima pesan-pesan atau penugasan dalam bentuk tulisan daripada sekadar lisan.
◦ Ingin tahu darimanakah orang itu mendapatkan faktanya.
◦ Bertanya, "Di manakah saya bisa memperoleh lebih banyak informasi?"


D Abstrak Acak
◦ Lebih suka mengecek dengan orang lain dulu sebelum mengambil keputusan akhir.
◦ Berusaha peka dengan perasaan orang lain. ◦ Mudah bekerja sama dengan orang lain.
◦ Tidak merasa terganggu dengan ruangan yang berantakan.
◦ Meminta pendapat orang lain sewaktu merasa bimbang.



PERTANYAAN ANDA
Kepala saya sering pusing, namun pemeriksaan medis menunjukkan bahwa saya sehat dan tidak ada gangguan apa-apa. Dapatkah Bapak memberikan penjelasan atas gejala yang saya alami ini?

Apabila dokter medis sudah menyatakan bahwa Anda sehat dan tidak menderita gangguan apa pun, dugaan saya adalah Anda menderita gangguan psikosomatik, yaitu gangguan fisik yang disebabkan oleh faktor kejiwaan. Dalam kasus Anda, saya meminta Anda untuk menjawab beberapa pertanyaan di bawah ini: 1. Bagaimanakah Anda bereaksi tatkala orang lain melukai perasaan Anda? Berdiam diri atau mengkonfrontasikannya? 2. Akhir-akhir ini seringkah Anda dilukai oleh orang lain atau tertekan oleh situasi tanpa Anda berdaya untuk mengatasinya? 3. Mudahkah bagi Anda mengungkapkan atau membicarakan perasaan Anda dengan orang lain?

Apabila jawaban Anda untuk Pertanyaan 1 adalah berdiam diri, Pertanyaan 2 adalah sering, dan Pertanyaan 3 adalah tidak, kemungkinan besar memang Anda sedang menderita tekanan atau stres yang berlebihan namun tidak dapat diatasi. Stres yang berlebihan acap kali mengakibatkan ketegangan secara fisik dan yang biasanya terpengaruh adalah otot-otot di sekitar bahu dan leher. Ketegangan di sekitar bahu dan leher menjalar ke kepala, yang akhirnya Anda rasakan sebagai rasa pusing atau pening.

Saya mohon maaf oleh karena keterbatasan ruangan, saya tidak bisa membahas penyelesaiannya. Di samping itu, saya memang tidak dapat membicarakan penyelesaiannya secara terarah tanpa saya mendengar lebih lanjut tentang penyebab ketegangan Anda. Saya sarankan agar Anda menghubungi gembala sidang Anda atau kami di sini untuk konsultasi lebih lanjut. Terima kasih.


CATATAN REDAKSI

Sekali lagi kita memikirkan tentang hubungan orangtua-anak dan tanggung jawab pendidikan yang Allah berikan pada mereka. Satu topik yang tak pernah usang oleh waktu maupun lapuk oleh karena kelemahan yang tak kunjung teratasi. Saya sering mendengar keluhan orangtua Kristen yang merasa bahwa masalah pendidikan bukan hanya masalah kurangnya pengetahuan orangtua atas prinsip-prinsip pendidikan yang benar. Mereka mengakui betapa pengenalan akan prinsip-prinsip pendidikan Kristen, bahkan kemauan dan usaha baik untuk menerapkannya tidak selalu dapat dilaksanakan dengan baik. Dan penyebabnya bukan penolakan, dosa, atau kesalahan si anak. Sebagai orangtua, mereka umumnya memahami apa yang sedang terjadi, oleh sebab itu mereka cenderung frustasi karena masalah tersebut sebenarnya adalah masalah kelemahan dan ketidakkonsistenan mereka sendiri.

Lawrence Richards menyebut gejala ini sebagai gejala isolated beliefs ("A Theology of Christian Education," Zondervan, 1975, p.63). Maksudnya, sebagai orang-orang Kristen, mereka percaya akan kebenaran prinsip-prinsip pendidikan yang dipelajari, tetapi kepercayaan yang didasarkan pada pengetahuan rasional tersebut ternyata tidak menghasilkan sikap, dorongan, dan kekuatan untuk betul-betul dilaksanakan. Alhasil, belajar puluhan tahun dan mengenal ratusan prinsip pendidikan tidak dengan sendirinya membuat mereka menjadi orangtua Kristen yang lebih bijaksana. Realitas ini merupakan skandalon dan "duri dalam daging" dalam dunia pendidikan Kristen. Allah seolah-olah tak berkuasa mengubah dan memperbaharui umat-Nya meskipun mereka sudah mempunyai pengetahuan akan kebenaran, bahkan kerinduan dan tekad yang benar untuk menerapkannya. Rupanya masih ada "prasyarat lain" yang belum terpenuhi sebelum Roh Kudus memperbaharui orang-orang percaya. Apa benar demikian?

Lawrence Richards mengatakan bahwa ini hanya masalah metode yang belum pas. Seharusnya setiap kebenaran diajarkan dalam konteks real situations di mana kebenaran dipelajari dalam konteks pengalaman hidup yang riil dengan kebenaran tersebut. Misalnya mempelajari prinsip "understanding" (penuh pengertian) dalam konteks "sikap anak yang melawan dan kurang ajar terhadap orangtuanya". Sehingga sebagai orangtua, mereka akan langsung melihat, memahami bahkan menemukan komponen-komponen, baik dalam dirinya sendiri maupun dalam diri si anak, yang menjadi kendala penerapan prinsip kebenaran understanding tersebut.

Pendidik yang lain melihat masalah tersebut sebagai masalah sistem yang tidak kondusif dalam kehidupan keluarga. Dalam sistem yang tidak kondusif, tidak ada ruang dan kesempatan untuk menerapkan kebenaran-kebenaran yang dipelajari. Oleh sebab itu penanggulangan masalah di atas haruslah merupakan pembaharuan dan perombakan sistem. Coba bayangkan, betapa besarnya dorongan untuk menerapkan kebenaran prinsip-prinsip pendidikan Kristen yang sudah dipelajari, jikalau dalam sistem kehidupan keluarga, suami-istri kompak, jalur komunikasi antara orangtua dan anak terbuka, dan penerapan prinsip kebenaran didukung oleh seluruh anggota keluarga.

Apakah sebenarnya masalah yang sedang kita gumulkan? Mungkin benar ini adalah masalah metode, mungkin pula benar ini masalah sistem, tetapi apa pun masalahnya, kita patut bersyukur kepada Tuhan jikalau para orangtua Kristen peka dan melihat masalah ini sebagai masalah serius yang harus diselesaikan. Paulus mengatakan, "Berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia." (I Kor. 15:58).

Gaya Komunikasi

Ada orang-orang tertentu yang seolah-olah dilahirkan untuk menjadi orang yang sukses dalam pergaulan. Dengan mudahnya mereka dapat menjalin persahabatan setiap bertemu dengan teman yang baru. Bukan itu saja, persahabatan mereka pun biasanya bertahan sampai kekal. Sebaliknya, ada pula orang-orang yang justru mengalami kesukaran dalam pergaulan. Tema "disalah mengerti" merupakan tema pokok hidup mereka meski mereka tak henti-hentinya berusaha mengoreksi diri. Banyak faktor yang terlibat yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan kita dalam pergaulan, salah satunya adalah gaya kita berkomunikasi.

Tanpa kita sadari, sebenarnya gaya komunikasi itu sendiri adalah bagian dari isi berita yang kita komunikasikan. Pada umumnya orang yang sukses dalam pergaulan bukan saja memahami dampak gaya komunikasinya pada orang lain, ia pun telah berhasil mengubahnya menjadi gaya komunikasi yang luwes dan menyenangkan. Gaya komunikasinya bukan saja tidak mengganggu isi berita yang ingin ia sampaikan, malah gayanya yang luwes itu menambah kekuatan atau bahkan adakalanya melengkapi kekurangan isi berita yang ingin ia kemukakan. Di bawah ini saya mencoba menjabarkan TUJUH GAYA KOMUNIKASI YANG TIDAK SEHAT. Mudah-mudahan dapat menolong kita memperbaiki keterampilan yang sangat penting ini.


Gaya 1: Si Penganggap

Ungkapan yang biasanya terlontar dari dirinya adalah, "Saudara seharusnya sudah mengerti maksud saya." Si Penganggap umumnya melakukan satu kesalahan yang cukup serius dalam komunikasi, yakni menganggap orang lain pasti memahami isi hatinya. Sebelum kita menganggap orang lain sudah menangkap maksud kita, kita perlu mengecek ulang, apakah benar ia sudah memahami pembicaraan kita. Gaya komunikasi seperti ini acap kali membuahkan kekecewaan dan bahkan kemarahan.



Gaya 2: Si Sepenggal

Orang ini berpikir, "Bukankah sudah saya katakan semuanya itu?!" namun sesungguhnya yang terjadi adalah ia memang belum mengemukakan seluruh pikirannya -- baru sepenggal saja. Sewaktu kita berbicara, kecepatan pikiran kita bergerak dari satu topik ke topik yang lainnya tidaklah sama dengan kecepatan lidah kita mengungkapkan isi pikiran itu sendiri. Bagi Si Sepenggal, pikirannya bergerak telalu cepat atau lidahnya terlalu lamban sehingga maksud hatinya tidak tertuang sepenuhnya melalui bahasa ucapan. Masalahnya ialah, ia tidak menyadari hal ini, sehingga dalam benaknya, ia sudah mengatakan semua yang ingin ia sampaikan. Si Sepenggal rentan terhadap frustasi karena komunikasinya menjadi terpotong-potong dan sudah tentu, membuka pintu terhadap kesalahpahaman.


Gaya 3: Si Peremeh

Ucapan Si Peremeh pada umumnya ditandai dengan kalimat sejenis ini, "Kenapa tidak mengerti-mengerti?" atau "Memang bodoh kamu!" Si Peremeh memiliki satu masalah yang lumayan serius yakni ia memperlakukan semua orang sama seperti dirinya. Alhasil, apabila orang lain tidak bisa mengikuti kemauan atau pikirannya, ia pun marah. Sewaktu marah, bukannya ia melihat bahwa memang orang lain berbeda dengannya, ia justru memandang perbedaan sebagai kekurangan di pihak orang lain. Gaya komunikasi ini cenderung merusakkan hubungan dengan orang lain. Siapa saja yang pernah disakitinya akan menjaga jarak karena tidak mau terluka lagi.


Gaya 4: Si Penyenang

Si Penyenang mempunyai satu misi dalam hidupnya, yakni menyenangkan hati semua orang. Akibatnya, tema seperti ini sering keluar dari bibirnya, "Saya akan lakukan apa saja bagimu asal kamu bahagia." Bicara dengan Si Penyenang memang bisa menyenangkan karena ia akan mengangguk-angguk saja, namun biasanya gaya komunikasi ini dapat mendangkalkan relasi pribadi. Sukar sekali untuk mengetahui hati Si Penyenang karena ia tidak terbuka. Ketidakterbukaannya itu juga cenderung membuatnya menumpuk semua perasaan dalam hati. Kalau tidak tertahankan, ia mudah menjadi orang tertekan dan tidak bahagia.


Gaya 5: Si Pelupa

Kita bisa lupa dan adakalanya sengaja melupakan peristiwa tertentu. Malangnya, Si Pelupa lupa dan melupakan terlalu banyak hal dan frekuensinya terlalu sering. Ia acap kali berujar, "Tidak, saya tidak mengatakan hal itu." Namun kenyataannya ialah ia mengatakan hal tersebut. Baik lupa atau melupakan informasi yang akhirnya dibutuhkan oleh orang lain cenderung melemahkan kepercayaan orang pada dirinya sendiri. Orang lain dapat membentuk anggapan bahwa Si Pelupa meremehkan atau bisa juga, orang lain menilai bahwa Si Pelupa tidak tulus. Ini bahaya! Komunikasi sangat bergantung pada kepercayaan; tanpa itu, yang mendengar adalah suara belaka.


Gaya 6: Si Pendebat

Repot juga berkomunikasi dengan Si Pendebat karena pembicaraan dengannya cenderung menjadi arena balapan kebenaran. Perhatikan kata- kata yang biasanya keluar dari mulutnya, "Apa benar saya berkata demikian? Apa kamu yakin? Bagaimana dengan dirimu sendiri?" Si Pendebat kaya dengan kata-kata dan gaya berkomunikasinya mirip dengan taktik menyerbu orang lain dengan bombardemen kata-kata. Si Pendebat cenderung melemparkan fokus masalah ke pihak lawannya sehingga ia bebas dari kesulitan. Gaya komunikasi ini bisa menimbulkan rasa tidak suka dan jenuh pada orang lain karena bicara dengannya membuat diri merasa diserang. Lebih jauh lagi, Si Pendebat akhirnya membuat orang beranggapan bahwa ia senantiasa mengelak dari tanggung jawabnya.


Gaya 7: Si Talenan

Rasa iba, kasihan, simpati adalah beberapa kata yang sering diasosiasikan dengan Si Talenan karena perasaan-perasaan seperti itulah yang timbul tatkala melihatnya. Si Talenan selalu menyediakan dirinya menjadi sasaran tudingan orang lain tanpa benar-benar menyadari di mana letak kesalahannya (kalau memang ada). Ucapan seperti ini cenderung muncul dari bibirnya, "Betul, memang saya yang salah dan sudah sepantasnya dimarahi." Masalahnya ialah, ia melakukan itu karena tidak berani atau berkekuatan memperhadapkan orang lain dengan kebenaran. Ia tidak suka keributan dan baginya silang pendapat tidaklah bijaksana, jadi, harus dihindarkan. Gaya komunikasi ini sangat merugikan dirinya dan bisa mengundang penghinaan dari orang lain. Orang lain semakin berani berbuat sekehendak hatinya tanpa mempedulikan perasaannya. Namun, bukankah ia jugalah yang memulainya?

Dari penjelasan di atas kita melihat bahwa gaya komunikasi dapat memancarkan kepribadian kita yang sesungguhnya, namun bisa pula merupakan gaya yang dipelajari. Adakalanya untuk mendapatkan penerimaan dari orang lain, kita terpaksa mengikuti gaya komunikasi yang tertentu. Atau kita belajar dari keluarga kita sendiri sehingga kita menganggap gaya komunikasi kita dipahami semua orang, alias universal. Jika gaya komunikasi kita memang merupakan buah kepribadian sendiri, sudah tentu perlu koreksi. Obat penawarnya ada beberapa, misalnya meminta tanggapan orang lain. Mungkin kita dapat memeriksa ucapan-ucapan kita dengan lebih teliti dan menanyakan, apa kira-kira yang orang lain rasakan (bukan kita, sebab kalau kita, mungkin sekali kita tak merasa apa-apa karena sudah terbiasa) tatkala mendengar kata-kata kita. Kita rela membayar mahal dan menanamkan waktu yang panjang untuk pendidikan kita; ironisnya, kita sering tidak bersedia membayar mahal untuk belajar menyehatkan gaya komunikasi kita. Memang, adakalanya hal yang penting tampaknya sederhana.

Bimbingan untuk Pemulihan Komunikasi yang Rusak

Ahli sosiologi, negarawan, penasehat pernikahan, banyak golongan yang berbeda-beda, sependapat bahwa dewasa ini kebutuhan terutama adalah komunikasi yang sungguh-sungguh. Teknologi semakin meningkat, buku-buku bertambah banyak disegala bidang. Tetapi komunikasi orang dengan lainnya mungkin tidak pernah sedangkal seperi sekarang ini.

Komunikasi manusia tidak lagi berdasarkan kebenaran. Jurang pemisah bukan hanya pada politik, pada usaha periklanan, tetapi juga di dalam gereja Yesus Kristus. Semua persoalan komunikasi berakar di Taman Eden. Allah memilih untuk mengadakan hubungan yang sangat intim dengan manusia yang Ia ciptakan menurut gambar-Nya sendiri sebagai mahluk yang dapat berkomunikasi. Adam berkomunikasi secara pribadi dengan menggunakan bahasa.

Dalam keadaan yang demikian sempurna Iblis menawarkan hambatan komunikasi yang pertama dengan mengusahakan keraguan terhadap Firman Allah. Bapa pembohong itu bertanya, "Tentulah Allah berfirman....?" Ia bertanya dan ini merupakan pertanyaan pertama dalam sejarah. Manusia mendengar dan bertanya pula. Iblis menantang dan membengkokkan Firman Allah.

Ketika Adam dan Hawa jatuh, maka komunikasi dengan Allah dan sesamanya retak. Manusia sebagai mahluk berkomunikasi yang membutuhkan orang lain, mulai mengalami penderitaan karena hubungan yang ia butuhkan itu terputus. Oleh karena hubungan sosialnya rusak, manusia mulai menderita keterasingan, dan mulai memperlihatkan hal itu dalam tingkah lakunya.

Di dalam pembimbingan, sebagian besar persoalan yang kita hadapi sebenarnya berakar dari Taman Eden. Sebenarnya keadaan seseorang tidak unik benar. Kebanyakan persoalan dikemukakan dalam bentuk komunikasi yang rusak. Misalnya rasa malu dan perasaan bersalah yang dihadapi para pembimbing dewasa ini adalah perasaan yang dialami oleh Adam. Kemampuan manusia untuk menilai diri yang diberikan Allah untuk membedakan benar dan salah, mulai menyakitkan. Biasanya jalan keluarnya yaitu kalau ada pihak ketiga yang membantu untuk membuat mereka mulai berkomunikasi.

Dasar pemulihan komunikasi adalah perdamaian dengan Allah. Pemulihan itu mulai dengan anugerah Yesus Kristus. Segala komunikasi yang berarti beralaskan Yesus. Seperti rasul Yohanes mengemukakan dalam suratnya kepada Gayus, komunikasi harus beralasan "kasih dalam kebenaran". Kebenaran ini dimiliki bersama dan dipercayai oleh setiap pihak dan dengan demikian menjadi dasar dari segala koumikasi yang berarti.

Komunikasi yang sempurna antara satu orang dengan yang lain telah terputus di Taman Eden ketika kebenaran Allah dicurigai, ditolak dan Adam mulai berbohong. Kecuali bagi Yesus setiap orang lahir sebagai pemberontak terhadap kebenaran Firman Allah.

Karena itu yang ia ucapkan bukanlah kebenaran melainkan dusta. karena tabiatnya yang berdosa manusia tidak mengasihi kebenaran. Setiap kali manusia menghadapi kesulitan, usahanya yang pertama dalam mengatasi kesulitan itu dengan berbohong, sama seperti Adam mengambil jalan dusta sebagai jalan keluar dari kesulitannya, demikian pula manusia dewasa ini menjalani hidupnya dalam dusta.

Orang-orang yang berbicara dalam kebenaran berbicara sesuai dengan patokan Alkitab. Mereka bicara benar kepada tetangganya demi kebaikannya. Orang Kristen harus bersedia membuka rahasia hatinya sendiri dan membagikan hal yang penting kepada orang lain karena mengetahui bahwa orang lainpun membutuhkan keterangan, dorongan, teguran, dsb. Kita membutuhkan orang lain sama seperti anggota- anggota tubuh saling membutuhkan satu dengan yang lain.

Berkomunikasi: Banyak Mendengar Sedikit Bicara

Dalam bukunya "Herein Is Love", Reuel Howe berkata, "Jika ada sesuatu yang sangat diperlukan oleh pengantin baru dalam memulai hidup bersama, bagaimana pun juga, itu adalah komunikasi yang terbuka di antara keduanya."

Seseorang menyarankan bahwa mendengarkan sungguh-sungguh dengan mulut terkatup adalah dasar ketrampilan berkomunikasi yang dibutuhkan dalam pernikahan. Pikirkan pola komunikasi Anda sendiri.
Apa yang diperlukan untuk mendengar secara efektif?

Mendengar efektif berarti jika seseorang sedang berbicara, Anda tidak boleh memusatkan pikiran pada apa yang akan Anda katakan saat ia selesai berbicara, melainkan pada apa yang ia utarakan.

Mendengar lebih dari sekedar menunggu giliran berbicara dengan sopan. Lebih dari mendengar kata-kata. Mendengar sungguh-sungguh berarti menerima dan mencerna berita seperti ketika kata-kata itu diucapkan - ingin mengerti apa yang sesungguhnya dimaksud orang lain.

Tidak benar bila secara umum mendengar diartikan sebagai bagian yang pasif dalam berkomunikasi. Pendengaran yang peka menjangkau orang lain, aktif memperhatikan apa yang dikatakannya dan apa yang ingin dikatakannya.

Mendengar bukanlah pilihan yang kita ambil dengan sukacita. Kebanyakan orang lebih suka berbicara. Kita senang mengungkap gagasan-gagasan kita. Kita merasa leibh enak memperkenalkan posisi, menonjolkan pendapat dan perasaan kita. Sebenarnya, kebanyakan orang tidak ingin mendengar seperti halnya keinginan mereka berbicara dan didengarkan. Karena itulah kita lebih memusatkan perhatian pada kata-kata yang akan kita ucapkan daripada memberi perhatian penuh pada apa yang diutarakan orang lain. Selain itu, kita sering menyaring kata-kata orang lain berdasarkan pendapat dan kebutuhan kita sendiri.

SEBAGAI CONTOH :
seorang istri memperlihatkan bahwa ia letih dengan pekerjaan rumah tangga. Sang suami mendengar apa yang dikatakannya, tetapi pesan yang ia terima adalah sang istri tidak bahagia karena ia tidak menyediakan seorang pembantu rumah tangga seperti yang dimiliki ibunya. Padahal, bukan itu yang ada di pikiran istrinya, tetapi itulah yang terdengar oleh sang suami. Sebab sejak menikah, sang suami selalu merasa bersalah karena tidak dapat memberi pertolongan seperti ayah mertuannya. Mudah dilihat bagaimana pesan yang disampaikan menyimpang dari yang dimaksudkan. Pesan-pesan yang sudah disaring terlebih dulu jarang sekali tepat dan menimbulkan kesalahpahaman.

Jika suami dan istri menyadari pentingnya mendengar secara objektif, dan masing-masing memberi perhatian penuh, maka mereka sudah mengambil langkah besar menuju pembangunan jalur komunikasi yang kuat.

Belajar Berempati

Empati (emphaty) adalah sikap positif konselor terhadap konsele, yang diekspresikan melalui kesediaannya untuk menempatkan diri pada tempat konsele, merasakan apa yang dirasakan konsele, dan dengan pengertian konsele. Suatu sikap yang Carl Rogers sebut sebagai,

To perceive the internal frame of reference of another with accuracy, and with emotional components and meanings which pertain thereto, as if one were the other person, but without ever losing the "as if" condition / melihat realita dengan cara, sudut pandang, pengertian dan pengalaman emosional pribadi dari konsele tanpa dirinya sendiri lebur didalamnya (Meador and Rogers, "Client- Centered Therapy," ad.Raymon Corsini, "Current Psychotherapies," Itasca, III., Peacock Pub. Inc, 1973, p.137).

Tanpa seorang dapat berempati tak mungkin dia dapat benar-benar mengerti apa yang sedang terjadi dalam diri konselenya. Masalah- masalah yang dikeluhkan konsele sebenarnya hanyalah manifestasi dari apa yang terjadi dalam kehidupan internalnya. Dua penderita kanker lever akan memanifestasikan keluhan dan persoalan yang berbeda. Yang pertama mungkin ketakutan, putus asa, kemudian ia marah, mempersalahkan Tuhan, dan depresi. Orang yang kedua, memberi reaksi yang di tengah ketakutannya ia terus berjuang, tidak putus asa, dan belajar menemukan maksud baik dari rencana Tuhan yang mengijinkan dirinya sakit. Sehingga dalam kesakitannya ia malah semakin menjadi berkat bagi sesamanya. Jadi masalah sebenarnya bukan penyakitnya. Kanker hanyalah kondisi dan konteks hidup yang memang tak terhindarkan. Masalah yang sesungguhnya, adalah bagaimana individu tersebut bereaksi terhadap realita yang dihadapi. Nah, disitulah perlunya konselor mempunyai kemampuan berempati. Tanpa empati tak mungkin konselor dapat memahami apa yang menjadi masalah sebenarnya, yang sedang dialami oleh konselenya. Jadi dengan empati, konselor memahami apa yang sedang terjadi dalam kehidupan internal konselenya.

Untuk memperjelas pembicaraan ini, coba perhatikan kasus dibawah ini.

A seorang usahawan yang pernah sukses, tetapi kemudian bangkrut karena ulah B, istrinya. Sejak anak mereka yang terkecil masuk sekolah, B ingin sekali bekerja dan mempunyai penghasilannya sendiri. A tidak keberatan meskipun ia ragu-ragu kalau istrinya dapat mengelola beberapa pusat penyalur tenaga kerja (TKI) keluar negeri. Bulan-bulan pertama cukup baik, tetapi dengan kemajuan usaha tersebut, B berani meminjam uang dari beberapa orang untuk memperbesar usahanya. Beberapa kontrak sudah ditandatangani dengan rencana mengirim ribuan tenaga kerja ke berbagai negara. Ternyata keadaan berubah. Apa yang sudah ditanda-tangani tak dapat dilaksanakan. Keadaan politik, dan ekonomi goncang sehingga B terbebani dengan bunga berbunga yang terus melambung tinggi. Ia dikejar-kejar penagih utang. Celakanya ditengah kondisi tersebut, B memilih untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Beberapa cek kosong ia buat dan terus menerus ia berbohong. Pada suatu sore, A membawa B datang kepada anda untuk konseling. Pembicaraan tersebut lebih banyak dimonopoli A. Dengan alasan-alasan yang sangat rasionil, A mengatakan bahwa dirinya tidak kuat lagi untuk menjadi suami B. Ia sudah kehilangan rumah, mobil, dan sebagian besar uangnya untuk membayar hutang-hutang B. Ia berharap B dapat menunjukkan itikat baiknya dengan menghentikan kebiasaan yang tidak baik tersebut. Ternyata B kembali mengulang kebiasaannya dengan menjual perhiasan teman baiknya, memakai uang hasil penjualan tsb, dan mengaku bahwa perhiasan tersebut hilang. Untuk apa yang diceriterakan oleh suaminya, B tidak menyangkal. Dia hanya menangis, berjanji tak akan mengulang lagi perbuatannya.
Apa yang anda pikirkan sebagai konselor? Apa artinya berempati dalam konteks konseling ini?

1 Berempati artinya menempatkan diri, merasakan dan memahami apa yang dirasakan dan dialami oleh A maupun oleh B. Mungkin A merasa kecewa, marah, dan tak berdaya oleh karena terjebak dalam situasi yang rumit tsb. Mau cerai juga tidak mungkin, karena ia seorang Kristen. Mau menghukum B lebih (dari sikap dan kata-kata kemarahan) juga rupanya tidak pantas dilakukan olehnya. Mau memaafkan dan mengampunipun ia takut tidak mendidik dan akan dikecewakan lagi. Bahkan ingin mengasihi B pun rasanya sudah sulit sekali. Rupanya A terjebak dalam pelbagai sikap tidak menentu, sehingga kemungkinan besar A merasa capai mental, pesimis, dan depressive. Ia melihat realita persoalannya sebagai hal yang "tak banyak yang diharapkan lagi." Mungkin dalam hati ia menyesali pernikahannya. Ia membawa B ke konseling hanya dengan harapan mendapatkan jaminan pemenuhan janji pertobatan B saja. Mungkin tidak lebih dari itu, karena A merasa ikut andil dalam kesalahan. Oleh sebab itu, mungkin A tidak memikirkan kemungkinan kalau pernikahannya dapat kembali harmonis dan dapat dinikmati seperti dulu lagi. Pernikahan yang ideal dengan B tidak lagi menjadi fantasinya.

Dengan menempatkan diri dan merasakan apa yang kira-kira dirasakan oleh konsele, anda sebagai konselor tidak terjebak dalam salah mengerti sikap dan kata-kata konsele. Misalnya, A mengatakan dengan suara lemah, "saya tak akan menceraikan dia, tetapi terus terang saja saya tidak kuat..." Sebagai konselor, anda memahami ambivalensinya (kata "cerai" dan "tidak kuat" kemungkinan hanyalah manifestasi perasaan putus asa saja, dan tidak mempunyai makna yang kuat sesuai dengan arti kata tsb), dan sikap ini menjadi sikap dengan spirit yang tidak tepat sebagai orang Kristen. Sikap ini akan memperkuat apriorinya bahwa "yang bersalah bukan saya, dan saya tidak punya andil apa-apa dalam masalah istri saya." Sehingga peran dan tanggung jawab untuk perbaikan kehidupan pernikahannya melemah bahkan bisa hilang sama sama sekali. Yang ada semata-mata hanyalah keinginan untuk bebas dari masalah. A makin menjadi manusia egosentristik, dan ia harus diingatkan bahkan kalau perlu dikonfrontir dengan kebenaran Firman. Empati tidak menutup terjadinya konfrontasi tersebut asalkan itu dilakukan di luar spirit aproiori dan judgemental / sekedar menghakimi.

Bagaimana dengan empati anda terhadap B? prinsipnya sama! Dengan menempatkan diri dan merasakan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh B, anda sebagai konselor akan menangkap apa yang terjadi dalam kehidupan "internal" B. Mungkin anda mulai merasakan kekecewaan B terhadap dirinya sendiri yang berulang kali gagal untuk hidup dalam prinsip kebenaran yang ia ketahui. Mungkin pula B sama-sekali tidak menyesal. kalau ia menangis dan berjanji, itu semata-mata hanya untuk menghindarkan diri dari "hukuman suaminya." Atau B menyesal tetapi ia adalah suatu tipe pribadi yang "tak tahan" berada di tengah kondisi yang menjepit, sehingga ia cenderung jatuh pada kesalahan yang sama yaitu "menghalalkan segala cara." Untuk kesalahan tsb ia berharap orang memahami kondisinya dan dapat memaafkan dirinya.

Coba anda sebagai konselor dengan tenang dan tidak terburu-buru berempati. Tangkap pola pikirnya dan kerja emosinya. Mana yang lebih penting bagi B: Apakah hidup dalam kebenaran dan terbebas dari masalah? Apa yang bagi B "masalah", atau masalahnya menurut B sendiri itu apa? Kemungkinan besar anda akan menemukan banyak hal yang tidak konsisten. Misalnya ia mengakui kesalahan dan berjanji untuk hidup dalam prinsip kebenaran etika Kristen. Namun dorongan dan keinginan untuk betul-betul menerapkan kebenaran tersebut tidak ada. Oleh karena itu, nasehat yang diresponi B dengan pengakuan dan janji-janji, belum menyelesaikan apa-apa. Anda harus dapat menolong menciptakan dorongan untuk mempraktekkan kebenaran yang diakuinya. Dalam hal ini, empati penting sekali. Melalui empati, anda mulai dapat berdialog dengan B dalam konteks dunia internalnya/artinya, berdialog-lah dengan B dalam level kesadaran batinnya. Tanyakan kepadanya, apa yang dirasakan olehnya dengan "mengakui prinsip kebenaran-kebenaran tsb?" Berikan tantangan pada hati nuraninya, dan tanyakan apa yang akan ia lakukan untuk menghidupkan suara hati nurani tsb, dan langkah-langkah apa yang akan ia ambil untuk merealisasikan kebenaran itu?

Kemungkinan orientasi pikiran B semata-mata hanya pada keinginan untuk tetap dapat mempunyai "kenikmatan-kenikmatan" memiliki uang yang banyak. Untuk itu ia akan berupaya sekuat tenaga dan dengan segala cara mendapatkan simpati dari A dan dari anda sebagi konselor, sehingga perubahan dan pertobatan "yang cepat" biasanya tidak dapat dipercaya. Wajarnya, konseling untuk B akan memakan waktu yang lama.


2 Berempati artinya mengosongkan diri sendiri demi untuk kepentingan konsele. Alkitab memberi beberapa contoh betapa Tuhan Yesus berempati dengan orang-orang berdosa. Kepada perempuan berjinah yang diceriterakan dalam Yohanes 8, Tuhan berempati. Ia Hakim yang Agung, Allah Maha Suci yang mengosongkan diriNYa dan bersikap "seolah-olah" Ia tidak mempunyai wewenang untuk menghakimi, mengadili dan menghukum perempuan tersebut. Ia bahkan berkata, "Akupun tidak menghukum engkau" (ayat 11). Mengapa demikian? Jawabnya sederhana, yaitu melalui empati mengosongkan diri itulah individu yang helpless terjerat dosa dan akibatnya yang fatal (penghakiman massa) mendapatkan satu kesempatan lagi untuk mempunyai pengharapan. Ia memang hopeless/tak punya pengharapan dan hopelessnessnya disadarinya saat itu. Ia berada di tengah keputus- asaan dan ketakutan yang sangat, dan empatilah yang akan memberikan pengharapan dan kesempatan hidup. Bahkan bukan sekedar hidup...tetapi "hidup yang baru." Oleh sebab itu, empati Tuhan tidak berakhir dengan tidak menghukum kamu," melainkan diteruskan dengan kalimat berita Injil yaitu: "pergi dan jangan berbuat dosa lagi..."(ayat 11).

Empati pada A dalam kasus diatas juga harus berupa pengosongan diri. Oleh sebab itu, sekali lagi, meskipun tahu akan kelemahan A, sikap judgemental/menghakimi harus ditiadakan. Coba rasakan lagi keputus- asaan A dan kekuatirannya bahwa pernikahannya dengan B sudah tak dapat diharapkan lagi. Katakan dengan spirit yang sama seperti Tuhan Yesus (Fil 2:5), tetapi dengan kalimat yang berbeda bahwa "aku tidak menghakimi kamu, aku dapat memahami mengapa kamu berpikir dan merasakan demikian...tetapi jangan teruskan...jangan berpikir dengan pikiran yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran firman Tuhan..."

Begitu juga dengan B, empati berarti anda sebagai konselor bersedia mengosongkan diri. Mungkin anda tahu kesalahan dan kekeliruan yang telah dilakukan B dalam kesadarannya. Bahkan mungkin anda mulai kenal keunikan kepribadian B dengan cacat atau kelainannya yang membutuhkan therapi. Mungkin pula anda telah belajar dari pengalaman bahwa tipe-tipe kepribadian seperti B hanya dapat disadarkan jikalau dikonfrontir dengan keras. Tetap anda jangan sampai kehilangan empati pengosongan diri, karena siapa tahu, pengosongan diri anda membuka jalan bagi proses pertobatan B yang sejati. Tanyakan kepada B, sikap apakah yang seharusnya orang berikan untuk kelemahan- kelemahan pribadi seperti yang dilakukannya? Kemudian demonstrasikan "dalam sikap" bahwa anda berhak untuk bersikap seperti itu, tetapi anda memilih untuk memberikan kesempatan pada B membuktikan pertobatannya. Anda tidak menyetop proses konseling oleh karena anda mengerti "ketidak-berdayaan dan ketidak-siapannya" melawan natur dosanya. Inilah berempati dengan mengosongkan diri anda sebagai konselor.

Nah, harapan saya, dengan kedua poin di atas anda mulai belajar berempati seperti konselor dalam pelayanan konseling anda. Tuhan memberkati.

PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

Mengerti (Berempati)

Dalam rangka menurunkan kolesterol, akhir- akhir ini saya sering bersepeda: dari rumah ke pusat konseling Pastorium, terus ke SAAT, dan akhirnya pulang ke rumah. Gara-gara naik sepeda inilah saya lebih mengerti beberapa hal yang sebelumnya tidak saya pahami. Pertama, saya baru mengerti mengapa adakalanya sepeda motor, sepeda, dan becak berjalan di jalur yang berlawanan arah. Penyebabnya adalah kadang menyeberang atau memotong jalan merupakan suatu tugas yang susah; jadi, lebih mudah dan lebih aman bagi si pengendara sepeda atau becak untuk membelok jika ia tetap di jalur yang salah itu.

Saya juga baru mengerti bahwa meski jaraknya sama, namun ongkos naik becak tidak sama untuk semua orang. Perbedaannya terletak pada berat badan si penumpang dan ini saya ketahui sewaktu saya harus mengayuh sepeda yang dibebani bobot badan saya yang hampir satu kwintal itu. Lebih lanjut, saya pun sekarang sering dibuat kesal oleh kendaraan beroda empat yang berjalan "seenaknya" kekesalan yang sama saya rasakan terhadap kendaraan beroda dua tatkala saya sedang mengendarai kendaraan beroda empat. Ternyata, menukar tempat atau menempatkan diri pada posisi orang lain menyingkapkan banyak pemahaman uyang sebelumnya tertutup dari pandangan saya.

Salah satu keterampilan mendasar dalam konseling adalah kemampuan untuk berempati. Berempati berarti mengerti perasaan, pemikiran, atau isi hati seseorang dengan mendalam. Berempati bukan sekadar memahami perkataan seseorang; ini bisa dilakukan oleh hampir semua orang. Berempati ialah turut menghayati perasaan yang sedang dirasakan oleh orang itu dan melihat motivasi atau pemikiran yang membelakangi tindakannya. Dengan kata lain, sama dengan pemahaman yang saya peroleh dari bersepeda, berempati sebenarnya merupakan tindakan menempatkan diri pada posisi atau keadaan orang lain setidak-tidaknya secara mental. Jadi, orang yang tidak sudi menempatkan dirinya pada keadaan orang lain, adalah orang yang tidak dapat berempati.

Salah satu "bumbu" pernikahan begitulah sering diucapkan oleh orang- orang tua dulu ialah pertengkaran. Secara pribadi, saya tidak pernah menganggap apalagi menikmati pertengkaran sebagai "bumbu". Pertengkaran, baik ituantara suami-istri atau relasi lainnya, lebih merupakan duri yang menyakitkan. Pertengkaran yang tak terselesaikan adalah resep jitu untuk menghancurkan hubungan antara dua insan. Jika saya boleh melukiskannya secara hiperbolik, satu pertengkaran berkapasitas menghapuskan 10 kebaikan atau kemanisan yang telah dikecap bersama. Itulah sebabnya, saya mengalami kesukaran membayangkan pertengkaran sebagai "bumbu" pernikahan.

Seluas apa pun dampaknya dan setajam apa pun tusukannya, pertengkaran adalah sesuatu yang harus kita lalui jika kita tetap ingin terlibat dalam hubungan dengan sesama. Ada banyak cara untuk menyelesaikan pertengkaran dan semua itu bergantung pada faktor penyebabnya yang juga beragam, namun semua penyelesaian yang sehat biasanya dialasi terlebih dahulu oleh pengertian atau dalam istilah psikologisnya, empati. Menurut hemat saya, pertikaian mulai mendekati titik penyelesaiannya tatkala kedua belah pihak berhasil berempati dan mengomunikasikan empati kepada satu sama lain.

Menerima empati atau dimengerti merupakan salah satu kebutuhan pokok menusia yang berkaitan dengan kodrat kita sebagai makhluk sosial. Merasa dimengerti sudah cukup untuk membuat kita berhenti berteriak meminta pengertian dan cukup kuat untuk menyadarkan kita bahwa orang lain bukanlah diri kita. Jadi, berempati atau mengerti merupakan keterampilan atau mungkin lebih tepat lagi, keharusan, yang mesti kita miliki. Empati adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan orang lain sewaktu arus kemarahan melanda dan memisahkan kita. Tanpa empati, kita hanya bisa saling memandang dan tidak saling berpegangan tangan lagi.

Menumbuhkan empati bukan hal yang terlalu mudah. Ada yang mengaitkan empati dengan belas kasihan, artinya kita dapat berempati tatkala kita berbelas kasihan. Masalahnya dengan pemahaman empati yang seperti itu adalah, empati berhenti bekerja sewaktu belas kasihan lenyap dari permukaan hati. Empati bukan belas kasihan walau belas kasihan dapat memudahkan bertunasnya empati.

Empati juga sukar muncul sebab pada umumnya kita menuntut orang untuk mengerti kita terlebih dahulu dan nanti, jika kita masih mempunyai energi sisa, barulah kita mencoba mengerti orang lain. Empati sering kali keluar dengan tersendat karena kita ingin membenarkan diri dan enggan mengambil resiko untuk mungkin saja keliru. Bukankah dengan empati kita membuka peluang timbulnya kesadaran dan akhirnya pengakuan bahwa yang kita duga atau tuduhkan sebelumnya itu keliru? Empati sukar bersemi; sama sukarnya dengan menyangkal atau mengosongkan diri.

Empati hanya bisa kita miliki jika kita berhasil memenuhi syarat tuntutannya: bersedia mengosongkan diri. Empati lebih mudah bertumbuh apabila kita pernah mengalami yang dialami orang lain atau setidak-tidaknya, kita memiliki kesadaran bahwa kita mempunyai potensi yang sama untuk "jatuh" seperti orang lain. Itu sebabnya, Allah yang menyelamatkan haruslah Allah yang menjadi manusia, "bukanlah iman besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan- kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa. (Ibrani 4:15).

PERTANYAAN ANDA

Saya seorang janda (35 th) dengan 2 anak (8 th dan 6 th). Suami saya meninggal mendadak 3 tahun lalu. Setelah jatuh bangun dalam dua tahun pertama sejak ditinggal suami, saya mulai bangkit dan bekerja lagi sekarang. Akhir-akhir ini saya selalu panik dan menghindar jika ada pria yang mendekati saya dan ingin berkenalan lebih lanjut. Padahal secara jujur saya membutuhkan suami. Apakah hal ini wajar, Bu?

Apa yang anda dan reaksi emosi yang muncul pada saat ada pria yang (tentunya yang anda sukai) mendekati adalah hal yang wajar. Di samping itu juga merupakan tanda bahwa jiwa anda sehat, sadar akan apa yang terjadi dalam diri termasuk jujur apa yang anda inginkan.

Namun pada saat yang sama yang terjadi adalah:

1 Walaupun anda tahu kebutuhan anda akan seorang suami, namun perasaan anda belum sepenuhnya dapat menyesuaikan diri dengan keinginan tersebut. Mungkin anda takut orang-orang di sekitar anda akan membicarakan mengenai hal ini, atau ada unsur "tabu" dan anda ingin "membuktikan kesetiaan" pada mendiang suami. Mungkin juga pengalaman-pengalaman anda yang tidak terlalu positif pada pernikahan yang lalu membuat anda ragu-ragu untuk menikah lagi.

2 Realita kesulitan anda untuk membangun komunikasi yang berarti dengan pria-pria yang anda sukai, sehingga yang mendekati bukanlah pria yang "ideal" bagi anda. Pada saat itulah kepanikan anda muncul.

Jadi ada beberapa saran.

a Anda perlu melangkah lebih lanjut untuk mematangkan kejujuran anda supaya pengenalan anda akan diri sendiri lebih lengkap, sehingga anda tahu apa yang anda benar-benar butuhkan saat ini. Apakah kebutuhan anda memang "untuk segera mendapatkan suami" atau "mulai belajar untuk berkomunikasi secara dewasa dan belajar mengembangkan sikap positif terhadap diri sendiri". Untuk ini mungkin anda membutuhkan bantuan konselor yang professional sehingga anda dapat memilah kebutuhan anda.

b Anda perlu menjaga keseimbangan dalam hidup anda sehingga setiap hal yang menjadi tanggung jawab anda sebagai ibu terhadap anak-anak anda tetap dapat dilaksanakan dengan baik. Tuhan selalu memberikan anugerah dan pertolonganNya dalam konteks pertanggung-jawaban iman ibu secara pribadi, seperti yang Tuhan Yesus katakan: "Siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan" (Matius 25:29). Berarti siapa yang merasa punya, dan menghargai apa yang ia punyai, akan diberkati oleh Tuhan.