Welcome to D.U.T.Y

1. BACKGROUND / LATAR BELAKANG
Kenapa berjudul D.U.T.Y.? Berdasarkan arti dalam bahasa Inggris, Duty berarti tugas/misi/kewajiban. Saya sebagai Author dari Blog D.U.T.Y ini, merasakan sudah menjadi kewajiban/tugas kita sesama anak-anak Tuhan untuk saling menguatkan dan menolong satu sama lain. Apakah cuma itu? Tunggu dulu, selain arti kata Duty dalam bahasa inggris yang telah disebutkan di atas, D.U.T.Y. sendiri disini juga adalah sebuah singkatan, yaitu : Dariku Untuk Tuhan Yesus / D.U.T.Y

Kita sebagai manusia pasti lebih sering membuat Tuhan Allah kita merasa sedih dengan dosa-dosa yang telah kita perbuat. Baik itu dosa yang disengaja/tidak disengaja, dosa yang kita ketahui/tidak kita ketahui. Bahkan mungkin terkadang kita merasa tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada Tuhan Yesus, padahal di dalam hati kita ingin membuat Tuhan senang. Tetapi Puji Tuhan, kita bisa memberikan sesuatu kepada Tuhan sekaligus membantu saudara-saudara kita yang lain. Salah satu caranya adalah memberikan kesaksian/pengalaman hidup kita untuk diceritakan kepada orang lain. Saya rindu sekali agar setiap orang yang nantinya membaca setiap kesaksian di dalam buku ini akan lebih mencintai Tuhan dan menyadari sepenuhnya bahwa Ia hadir di setiap langkah kehidupan mereka.

2. VIEW / SEKILAS
Seperti apakah kira-kira blog ini nantinya? Secar garis besar, blog ini adalah seperti buku Chicken Soup. Mengapa?
Karena buku Chicken Soup memuat pengalaman/kisah nyata dari orang-orang yang mempunyai tujuan memotivasi orang lain, memperkaya jiwa, sekaligus menguatkan. Selain itu, agar lebih bisa menjangkau kalangan umum Kristiani, sebagian besar isi blog ini tentu saja adalah kisah-kisah kesaksian nyata (karena umumnya, kesaksian-kesaksian berharga dari saudara-saudara kita, akhirnya hanya terpendam dalam suatu lingkup tertentu saja). Blog ini juga tidak akan secara khusus menelaah ayat-ayat dalam Alkitab. Ayat-ayat Alkitab hanya akan digunakan sebagai pendukung dari setiap tema kesaksian. Oleh karena itu, Saya dari Author dari blog D.U.T.Y. ini berpikir, kenapa sharing-sharing tersebut tidaklah dibuat dalam sebuah wadah yang bisa diberikan untuk orang lain serta diketahui secara luas? Alangkah indahnya bila sharing-sharing/kesaksian itu dapat berguna bagi kehidupan orang lain, khususnya bagi mereka yang belum peka akan jamahan Tuhan dalam kehidupannya. Selain itu, sharing merupakan salah satu bentuk media yang bisa membangun rasa kebersamaan kita.

3. WHO? / SIAPA SAJA ?
Siapakah yang bisa berpartisipasi dalam buku ini? Jawabannya sangatlah mudah yaitu : siapa saja. Kami mengundang Saudara sekalian yang terkasih dalam Yesus Kristus untuk berpartisipasi dengan menceritakan pengalaman/kesaksian Saudara kepada kami. Apapun pekerjaan Saudara, berapapun usia Saudara, berapapun penghasilan Saudara atau apapun kedudukan Saudara, apakah Saudara beragama Kristen Katolik maupun Kristen lainnya, atau apakah tempat tinggal Saudara dekat/jauh. Yang paling penting disini adalah niat untuk memberikan sesuatu untuk menyenangkan Tuhan yang (mudah-mudahan) dapat membantu Saudara-Saudara seiman lainnya. Atau misalnya Saudara memiliki ayah/ibu/orang-orang lain yang ingin ikut berpartisipasi, kami dengan senang hati akan menerimanya.

Mungkin Saudara juga ingin melakukan pelayanan dalam kehidupan iman saudara, namun sampai sekarang belum sempat melakukan pelayanan di gereja/sesama atau mungkin Saudara bingung mau memberikan pelayanan seperti apa? Puji Tuhan, Saudara sekarang bisa memberikan pelayanan kepada Tuhan dan sesama dengan menceritakan pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan kehidupan iman Saudara kepada kami melalui email yang telah saya buatkan yaitu :

todays_duty@yahoo.co.id

Email diatas juga bisa digunakan untuk memberikan input, bimbingan, atau masukan sehingga tentu bisa membangun kualitas blog yang akan dihasilkan ini. So, any input will grow all of us together… jangan lupa masukkan “INPUT” sebagai subjek email Saudara..


Pertanyaan yang paling sering diajukan adalah : "Saya ingin ikut memberikan pengalaman hidup saya, tetapi saya tidak bisa/kurang bisa menulis, bagaimana ini?" Tenanglah, Saudara tidak perlu ragu/takut. Kami yakin kekurangan Anda akan dibantu oleh Kuasa Roh Kudus pada saat Saudara berusaha menceritakan pengalaman Saudara. Yang paling penting adalah hati Saudara yang dipenuhi dengan niat serta kerinduan untuk membagi sentuhan keajaiban Tuhan kepada sesamanya. Kami yakin, Tuhan Yesus tidak akan meninggalkan siapapun yang ingin mempersembahkan sesuatu dengan sepenuh hati padaNya. Jadi, jangan ragu. Kirimkan saja tulisan Saudara. Saya akan berusaha membantu Saudara dalam hal pengeditan cerita Saudara.

Salam Damai Sejahtera, Tuhan memberkati.
AUTHOR OF D.U.T.Y

09 January 2008

Ketertutupan Eksistensial

Ketertutupan merupakan hal yang menghambat komunikasi dan hubungan antar manusia. Sulit dibayangkan seseorang menikah dengan pasangan dengan jiwa yang tertutup. Mungkin segala ideal pernikahan tak dapat dicapai. Keinginan, pemikiran, perasaan, dan segala yang perlu dikomunikasikan berakhir dengan diri sendiri. Tidak heran jikalau ekses-ekses yang tak diharapkan akan muncul. Perasaan kecewa, jengkel, marah, frustasi, dan tidak sabaran, yang kemudian memicu keinginan untuk menjauh dan menghirup kesegaran di luar, tak dapat dihindari lagi.

Anehnya, ketertutupan tidak selalu memanifestasikan diri dalam sikap diam, acuh, pasif, dan sulit berkomunikasi. Banyak pribadi yang tertutup tetapi berpenampilan ramah dan suka ngobrol, hanya...tak pernah mengkomunikasikan dirinya sendiri (the real self). Sehingga perkenalan, pergaulan, bahkan pernikahan selama bertahun-tahun tetap tidak menghasilkan keakraban. Apa yang ada dalam hati, dan apa yang tersimpan di balik sikap, kata-kata, dan tingkah lakunya merupakan misteri yang sulit dipahami. Kalau benar demikian, maka ini adalah gejala ketertutupan yang seringkali disebut sebagai ketertutupan eksistensial. Yaitu ketertutupan dari pribadi yang sebenarnya takut menghadapi realita kehidupan yang sesungguhnya (the real world). Untuk lebih meng-clear-kan pokok pembicaraan ini, coba perhatikan kasus di bawah ini.

L pada suatu hari datang ke seorang konselor dengan keluhan "tak dapat tidur (insomnia)." Katanya sudah berobat ke dokter dan diberi obat tidur. Memang tertolong, karena L kemudian dapat tidur. Tetapi setelah itu pemakaian obat tersebut menjadi masalah. L takut terjebak dalam ketergantungan pada obat. Itulah sebabnya ia konseling. Dari percakapan dengan konselor, akhirnya sampailah juga pada cerita kekecewaan dan perasaan dikhianati yang L alami dengan suaminya. Herannya, perasaan dikhianati tersebut muncul hanya oleh karena sang suami mulai main tenis seminggu dua kali. Dari jawaban dan penjelasan L, barulah nyata bahwa sejak menikah L menciptakan sistim kehidupan yang khusus dan unik. Selama dua tahun sang suami menurut-nurut saja, karena ia seorang yang baik hati dan tak suka ribut. Seolah-olah ia tidak pernah mempermasalahkan ketetapan dari L, yaitu ke mana- mana mesti bersama. Baik ke gereja, ke toko, ke luar kota, bahkan berolah-ragapun selalu harus bersama-sama. Nah, di sinilah persoalannya, karena pada suatu hari sang suami bertemu teman- teman lamanya yang mengajak ikut main tenis seminggu dua kali. Memang ide ini sudah diutarakan kepada L, tetapi L tak mau main tenis dan..., sesuai dengan sistim yang selama ini sudah berlaku, kalau L tidak pergi suami juga tidak boleh pergi. Biasanya sang suami nurut- nurut saja. Kali ini tidak. Dan itu menjadi bencana karena dianggap sebagai pengkhianatan.

Apa betul pengkhianatan? Menurut L jawabnya "ya," (tetapi "tidak" bagi suami L). Karena L adalah tipe pribadi dengan ketertutupan eksistensial, yaitu ketertutupan dalam eksistensinya sebagai satu individu dalam hubungan dengan individu yang lain. L menciptakan dunianya sendiri dan setiap orang yang dekat dengannya harus masuk menjadi bagian dari dunia ciptaannya. Orang tersebut harus berperan dengan peran yang ditetapkan L sesuai dengan dunia ciptaan tersebut. Ia tidak boleh mempunyai kebebasannya sendiri, atau memainkan peran yang lain yang tidak sesuai dengan peran yang sudah ditetapkan oleh L. Tidak heran jikalau hal "berani mengambil keputusan untuk bermain tenis sendiri (tanpa L)" dirasakan sebagai suatu pengkhianatan.

Ketertutupan eksistensial sebenarnya merupakan gejala umum yang sering ditemukan dalam kehidupan suami-istri. Banyak individu yang diam-diam merasa terjebak, tertekan, kehilangan kebebasan dan jiwanya terpenjara setelah menikah dengan pribadi dengan ketertutupan eksistensial. Memang ia dilayani, dan "dicintai" tetapi heran pelayanan dan cinta kasih yang diberikan, lama kelamaan tidak dapat dinikmati. Oleh sebab itu, keinginan untuk membebaskan diri seringkali tak dapat dibendung lagi.

Sekarang, bagaimana kita dapat menolong individu dengan ketertutupan eksistensial? Sulit, karena umumnya individu seperti ini tidak pernah merasa bersalah. Ia merasa bahwa ia sudah memberikan segala- galanya untuk suami/istri dan keluarganya. Ia yakin bahwa apa yang dilakukannya (dengan mengatur detail tingkah-laku seluruh keluarga) adalah demi kebaikan mereka, dan itulah tanda dari cinta kasihnya. Padahal apa yang disebut sebagai "cinta kasih" tersebut adalah sesuatu yang tidak dinikmati oleh suami/istri dan seluruh keluarganya. Untuk dapat menolong pribadi dengan ketertutupan eksistensial:


1 Perlu adanya pengertian dan pemahaman yang benar tentang asal- muasal pembentukan kepribadian yang unik tersebut.

Ketertutupan eksistensial biasanya terbentuk pada masa kecil. Seseorang bisa mempunyai kepribadian dengan ketertutupan eksistensial oleh karena sejak kecil ia tidak pernah :

a dibimbing untuk berkenalan dengan dunia kehidupan yang real (the real world), dan
b dibekali untuk berperan di tengah dunia kehidupan tersebut.

Setiap anak membutuhkan pengalaman "berkenalan" dengan dunia nyata. Pengalaman tersebut seharusnya dialami secara alami di tengah keluarga. Sejak kecil, setiap anak boleh tahu siapa orang-orang yang hadir dan muncul di rumahnya. Siapa orang yang mencuci pakaiannya, masak, mengepel dan tinggal di kamar belakang. Siapa orang yang sedang membetulkan telpon di rumahnya, siapa orang yang datang berjualan sayur setiap pagi si depan rumahnya. Ia boleh tahu mengapa ibu menangis. Apa artinya kalau ayah membawa mobilnya ke bengkel. Jadi, anak yang belajar berkenalan dengan dunia nyata, adalah anak yang diijinkan untuk tahu apa yang dilihat, didengar, dan dialami. Kadang-kadang ia dibawa ke luar rumah, ke gereja, ke toko, bahkan ke kebun binatang dan sebagainya. Perkenalan tersebut akan menghasilkan kesiapan anak untuk hidup dan berinteraksi dengan dunia yang nyata. Semakin banyak perkenalan tersebut semakin kenal dan siap anak untuk menghidupi kehidupan ini.

Meskipun demikian, perkenalan pada dirinya sendiri sebenarnya belum cukup. Setiap anak harus pula dibekali dengan kesiapan mental atau ia tidak dapat berperan dengan baik di tengah dunianya. Oleh sebab itu, setiap anak harus dibekali dengan berbagai komponen kepribadian yang diperlukan. Ia harus dibekali dengan rasa percaya, sehingga ia dapat bekerja sama dengan orang lain. Ia juga harus dibekali dengan rasa mampu, percaya diri, keinginan tahu, keberanian mencoba dan kemampuan beradaptasi dengan kegagalan, kasalahan dan sebagainya.

Sayang sekali banyak anak yang oleh karena satu dan lain sebab (misal: kedua orang-tua tidak merasakan perlunya memperlakukan setiap anak sebagai pribadi yang utuh) tidak siap untuk masuk ke dalam kehidupan yang nyata ini. Seringkali dengan bekal yang sangat kurang dalam jiwa mereka, muncul perasaan takut, gelisah dan tidak aman. Ada di antara mereka yang kemudian menjadi rewel, nakal, tak mau sekolah, pemalu, penakut, keras kepala dan sebagainya. Secara khusus banyak di antara mereka yang membangun dunianya sendiri, membiasakan diri untuk melihat dan menafsirkan realita yang dialami dengan perspektif dan tafsiran mereka sendiri, dan kemudian belajar memberikan reaksi emosi yang juga unik. Inilah yang menjadi proses pembentukan jiwa dengan ketertutupan eksistensial.


2 Perlu adanya kemampuan untuk menjelaskan dan mengkonfrontir pola pikir yang salah tersebut.

Kembali ke kasus L di atas, konselor mendengar dari mulut L keluhan- keluhan seolah-olah segala kebaikan dan pelayanannya tidak dihargai. L mengeluh,

"Semua kan untuk kebaikannya? Tubuhnya juga tidak sehat, main tenis kan olahraga yang berat, jadi, kalau saya diamkan saja...apa-apa saya ijinkan...bisa dibayangkan ia akan jadi apa?...mati muda barangkali...atau kena stroke...lalu siapa yang susah nanti...Terus terang aja...makan pun mesti saya batasin...kalau tidak dia maunya makan sembarangan...Juga kalau dibiarkan nih, dia maunya nonton TV sampai pagi...Jadi, terus terang, saya mesti keras sama dia...Tapi itu kan karena saya cinta dia. Herannya dia tidak mengerti maksud baik saya..."

Mendengar ini mungkin anda sebagai konselor mulai ambivalen. Ada juga poin-poin kebenaran dari L yang anda rasakan. Meskipun demikian anda harus waspada. Betul-betul waspada dengan kesan dan perasaan anda sendiri. Jangan sampai anda mentransfer kesan dan perasaan tersebut padanya. L adalah klien anda, dan untuk dapat menolong L, anda harus dapat menangkap pola pikir L yang tidak sehat.

L berpikir bahwa ia hanya dapat berbahagia jikalau suaminya menjadi seperti apa yang ia kehendaki. L merasa bahwa ia hanya dapat mengasihi suaminya, jikalau suaminya menuruti segala kemauannya. L merasa bahwa suaminya menolak dan mengkhianati cintanya jikalau ia berani melakukan hal-hal yang tidak disetujui. Nah, ini adalah pola berpikir L, dan jelas sekali dengan pola pikir ini L akan menjadi pribadi yang dirasakan menekan, membelenggu, dan memaksakan kehendak. Akibatnya, meskipun benar L merasa mengasihi suaminya, dan mungkin benar L melayani dan memberi kebutuhan-kebutuhan phisiknya, tetapi "kasih dan pelayanannya" tidak dinikmati bahkan dirasakan menjerat.

Sebagai konselor, anda harus berani mengkonfrontir pola pikir tersebut supaya L sadar akan apa yang terjadi dalam kehidupannya dan bagaimana hubungan yang sesungguhnya dengan suaminya.

Nah, dengan kedua prinsip di atas, anda dapat mulai menerapkan peran anda sebagai konselor. Tuhan memberkati.

---------------------ooooo0O0ooooo--------------------

PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

Kerapuhan Hidup

Sewaktu saya kuliah dulu, seorang dosen saya pernah menceritakan salah satu kliennya yang mengalami mental breakdown (hilangnya kewarasan) di tengah-tengah proses penyembuhannya. Saya masih teringat komentar dosen itu yang disampaikannya dengan wajah serius, "Jangan berpikir bahwa kita kuat dan hal seperti ini tidak akan pernah terjadi pada kita." Sejak saat itu sampai sekarang saya sudah menyaksikan beberapa contoh kehidupan di mana kasus tersebut terulang kembali. Adakalanya hantaman yang kita terima begitu kuat sehingga kita tak mampu menjaga keseimbangan hidup kita lagi. Kita pun akhirnya mengalami depresi atau bahkan kehilangan kewarasan-- sesuatu yang tak pernah terpikir akan menimpa kita.

Banyak orang mengenal lagu rohani It Is Well with My Soul (Nyamanlah Jiwaku) yang ditulis oleh H.G. Spafford dan mengetahui latar belakang penulisannya. Konon, lagu itu ditulisnya di atas kapal tatkala ia melintasi lautan Atlantik, tempat di mana terkubur ketiga putrinya yang mati tenggelam. Istri dan ketiga putrinya sedang dalam perjalanan ke Eropa sewaktu kapal mereka karam; si istri selamat namun ketiga putrinya meninggal dunia. Penderitaannya tidak berhenti di situ. Bertahun-tahun kemudian Spafford kehilangan putranya yang mati karena sakit. Setelah peristiwa itu, gereja di mana Spafford dan istrinya berbakti, mengucilkannya karena mereka beranggapan bahwa pasangan Spafford ini pasti berhubungan dengan kuasa gelap. Anggapan tidak berdasar ini dilandasi atas keyakinan bahwa hanya orang yang berselingkuh dengan setanlah yang akan kehilangan keempat anaknya. Spafford dan istri terpaksa pindah ke tempat yang jauh untuk memulai hidup yang baru. Hari tua Spafford tidaklah terlalu bahagia sebab pada akhirnya ia menderita sakit jiwa.

Apa yang terjadi dengan Spafford sehingga ia yang dapat menulis lagu yang agung dan mencerminkan iman yang kuat itu bisa mengalami sakit jiwa? Spafford tegar menghadapi kematian ketiga putrinya; ia pun tetap tabah menerima kematian putranya. Namun tatkala ia harus dibuang oleh orang-orang yang seharusnya merangkul dan mendukungnya, ia tak kuasa menahan penderitaannya lagi. Sistem pertahanan hidupnya runtuh dan jiwanya pun retak. Mungkin ada di antara anda yang berargumen bahwa seharusnya ia tetap waras sebab bukankah Tuhan mampu menolongnya. Sudah tentu Tuhan membantunya dan jika ia tekun beriman, tidak seharusnya ia mengalami sakit jiwa. Memang betul, namun dalam hidup banyak peristiwa yang tidak seharusnya terjadi. Mestinya kita beriman dan bersandar pada Tuhan, tetapi tidak selalu kita beriman dan bersandar pada-Nya. Mungkin itu yang terjadi pada Spafford; di episode terakhir hidupnya, tanggul pertahanannya bobol akibat tekanan arus yang terlalu kuat. Banjir penderitaan pun menggenangi sukmanya dan melumpuhkan kesanggupannya untuk hidup.

Ada beberapa langkah awal yang dapat kita lakukan untuk memelihara kesehatan jiwa. Pertama, kita harus memaklumi keterbatasan kita. Kita mesti menerima fakta bahwa kita tidak selalu kuat dan pada titik tertentu, kita bisa ambruk. Dalam beberapa kasus mental breakdown yang pernah saya saksikan, saya memperhatikan adanya unsur sikap tidak mengenal batas pada mereka yang mengalaminya. Kita perlu mengenali batas kemampuan kita dan memahami tanda atau sinyal yang dibunyikan tubuh kita, misalnya kesulitan tidur yang berkepanjangan, kesukaran berkonsentrasi, pikiran yang berjalan dengan cepat ibarat balapan mobil, atau perasaan yang naik turun tak terkendali namun lebih banyak turunnya. Semua itu adalah tanda awas yang harus kita terima dengan lapang dada bahwa kita memerlukan bantuan ekstra dari luar. Dengan kata lain, kita sedang berada di ambang batas untuk dapat terus bertahan dengan waras.

Kedua, kita mesti menyadari bahwa sebagian besar kekuatan kita sebetulnya berasal dari topangan yang kita terima dari luar, misalnya orang-orang di sekitar kita atau lingkungan hidup yang mendukung. Kehilangan ketiga putrinya dan bahkan kematian putranya tidak meruntuhkan Spafford; namun tatkala gereja mencampakkannya, ia ambruk. Secara pribadi saya menyadari bahwa saya sehat seperti sekarang ini dikarenakan dukungan moral yang saya terima dari banyak faktor seperti, istri dan anak-anak saya, sanak keluarga yang memperhatikan saya, teman-teman yang begitu akrab dan baik, serta pekerjaan yang memuaskan hati. Saya kira hidup saya akan menjadi sangat lain jika semua unsur di atas ini ditarik keluar dari dalam kehidupan saya. Jadi, memang kita perlu memelihara jalinan persahabatan yang baik dengan orang-orang di sekitar kita. Manusia yang hidup sendiri akan merusak dirinya sendiri.

Sesungguhnya kita adalah orang yang tidak terlalu kuat; kekuatan yang kita miliki sebenarnya hanyalah sesaat dan sebatas kulit permukaan. Kita adalah penerima kekuatan dari pihak lain: Tuhan, orang lain, lingkungan hidup, dan pekerjaan. Hargailah semuanya itu; bersyukurlah karena Tuhan berkenan memberikan semua itu kepada kita. Saya menyimpulkan bahwa kewarasan kita merupakan hadiah dari Tuhan saja. Saya akan akhiri dengan bait pertama lagu Spafford itu (terjemahan bebas) untuk mengingatkan kita bahwa hidup ini tidak selalu dipenuhi kekuatan dan bahwa jiwa kita tidak selalu dalam keadaan baik.

Tatkala damai--bak sungai--hadir di jalanku. Ketika kesusahan-- seperti gelombang besar--menggulung. Apa pun yang terjadi, Engkau telah mengajarkanku untuk berkata, Jiwaku baik, jiwaku baik.

No comments: